Membela guru, membela masa depan Indonesia

id guru,guru honorer,kesejahteraan guru,sekolah,makassar,Rasnal,abdul muis,kriminalisasi guru

Membela guru, membela masa depan Indonesia

Dua guru asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan Abdul Muis (kiri) dan Rasnal (kanan) memberikan keterangan pers usai menerima langsung surat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (13/11/2025). ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden/pri.

Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil langkah untuk membela dua guru, Rasnal dan Abdul Muis, dengan menandatangani hak rehabilitasi untuk memulihkan status dua guru SMAN 1 Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan tersebut.

Langkah tersebut menuai apresiasi dari berbagai kalangan dan dinilai sebagai bentuk penghormatan negara terhadap profesi pendidik.

Kriminalisasi terhadap Rasnal dan Abdul Muis yang berupaya membela guru honorer itu menggugah keprihatinan publik.

Kasus kedua guru tersebut bermula pada 2018, ketika Abdul Muis bersama Rasnal mengusulkan kepada Komite Sekolah agar orang tua murid berpartisipasi secara sukarela untuk membantu membayar gaji 10 guru honorer yang belum menerima upah selama 10 bulan.

Namun, inisiatif itu justru dilaporkan ke polisi dengan tudingan pungutan liar (pungli). Meski Pengadilan Negeri Makassar sempat menyatakan keduanya tidak bersalah, putusan itu dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi.

Keduanya dijatuhi hukuman penjara tiga bulan dan denda Rp50 juta, bahkan kemudian dipecat.

Kejadian ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi cermin dari masalah struktural yang selama ini menghantui dunia pendidikan Indonesia. Ketika solidaritas antarguru justru berujung pada ancaman pidana, kita patut bertanya ulang: mengapa profesi pendidik masih berada dalam posisi serentan ini?

Data menunjukkan bahwa persoalan guru honorer adalah fondasi rapuh yang selama bertahun-tahun menopang sistem pendidikan nasional. Menurut data resmi tahun 2022, terdapat sekitar 704.503 guru honorer yang mengisi ruang-ruang kelas di seluruh Indonesia. Angka besar ini mencerminkan betapa sekolah di berbagai daerah, terutama di wilayah pinggiran, sangat bergantung pada tenaga honorer.

Namun ketergantungan itu tidak disertai jaminan kesejahteraan. Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menemukan bahwa 74 persen guru honorer menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota. Mereka bekerja penuh tanggung jawab, namun imbalan yang diterima jauh dari kata layak.

Lebih memprihatinkan lagi, laporan tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 428.000 guru honorer di sekolah negeri belum memiliki kepastian status kepegawaian. Ketidakpastian ini bukan sekadar soal klasifikasi administratif, tetapi menyangkut rasa aman seseorang dalam menjalani profesinya.

Keberanian moral yang terancam

Dalam kondisi inilah keberanian moral Rasnal dan Abdul Muis menjadi relevan untuk diperbincangkan.

Tindakan mereka muncul dari dorongan solidaritas—jiwa inti profesi guru—yang dalam etika pendidikan dikenal sebagai moral agency: keberanian mengambil risiko demi membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan bagi rekan sejawat.

Mereka tidak sedang mencari masalah; mereka sedang mencoba merawat martabat profesi guru. Ketika tindakan demikian justru dibalas dengan kriminalisasi, ironi itu terasa menohok.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi menegaskan bahwa kesejahteraan dan kualitas guru harus seimbang dan berkesinambungan. Artinya, kualitas pendidikan tidak mungkin tumbuh dari kondisi kesejahteraan yang timpang.

Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga mengingatkan bahwa guru adalah profesi mulia, tetapi “mereka tetap manusia yang membutuhkan kesejahteraan yang layak.”

Sementara Ketua DPR Puan Maharani menyebut pengangkatan guru honorer menjadi PPPK sebagai “langkah maju bagi kesejahteraan mereka”. Namun fakta kriminalisasi seperti yang dialami Rasnal dan Abdul Muis memperlihatkan bahwa perbaikan nasib guru tidak cukup berhenti pada perubahan status administratif.

Ketimpangan relasi kuasa

Kasus ini juga menunjukkan bahwa pendekatan represif tidak cocok diterapkan di lingkungan pendidikan. Sekolah bukanlah institusi yang seharusnya mudah menyeret guru ke meja hukum.

Dunia pendidikan memerlukan ruang dialog, mekanisme mediasi, serta pendekatan restoratif. Pemidanaan guru atas konflik internal bukan hanya merusak relasi antarpersonel, tetapi juga memberi pesan negatif: bahwa guru harus berhati-hati ketika bersuara, bahkan ketika yang diperjuangkan adalah nilai keadilan.

Ketimpangan relasi kuasa dalam ekosistem pendidikan tampak jelas. Guru honorer sering diposisikan sebagai warga kelas dua yang mudah dipindahkan, mudah ditekan, dan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Padahal kontribusi mereka tak kalah besar dari guru ASN. Mereka mengajar kelas yang sama, memikul beban kerja serupa, dan dalam banyak situasi memberikan tenaga lebih. Namun posisi tawar mereka jauh lebih lemah karena tidak didukung status hukum yang kuat.

Titik balik keberanian

Karena itu, negara perlu melihat persoalan ini sebagai isu moral dan kebijakan sekaligus. Penataan honorer tidak boleh hanya menjadi wacana tahunan yang bergulir tanpa kejelasan.

Dibutuhkan keberanian politik untuk menghadirkan regulasi dan perlindungan yang tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi menangani akar persoalan: status, kesejahteraan, dan rasa aman dalam bekerja. Reformasi pendidikan tidak mungkin berjalan baik jika tenaga pendidiknya diabaikan.

Keberanian moral Rasnal dan Abdul Muis memberi kita pelajaran penting. Di tengah ketidakpastian, masih ada guru yang memilih berdiri tegak demi membela nilai solidaritas dan keadilan.

Mereka mengingatkan bahwa inti pendidikan adalah kemanusiaan. Bila negara ingin membangun pendidikan yang kuat, maka keberanian moral itu harus dirawat dan dilindungi, bukan dibungkam oleh ancaman hukum.

Peristiwa ini semestinya menjadi titik balik bagi kita semua. Guru tidak boleh dibiarkan sendirian ketika memperjuangkan keadilan. Karena ketika kita melindungi guru, sesungguhnya kita sedang menjaga masa depan bangsa.

*) Pormadi Simbolon, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan Pembimas Katolik, Kanwil Kemenag Banten

Baca juga: MPR mendorong redistribusi guru demi pemerataan pendidikan berkualitas

Baca juga: Dua guru Luwu Utara berterima kasih ke Prabowo usai nama baiknya dipulihkan






















Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membela guru, membela masa depan Indonesia

Pewarta :
Editor: Wening Caya Ing Tyas
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.