Yogyakarta (ANTARA) - UNESCO Jakarta didukung oleh Temasek Foundation menyelenggarakan program "Embracing Shared Heritage through Performing Arts: Intercultural Collaboration Skills Development across Indonesia, Malaysia, and Singapore" di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, pada 12–13 Desember 2025.
Program tersebut bertujuan memperkuat kapasitas seniman Asia Tenggara dalam membaca, merawat, dan mengembangkan warisan budaya bersama melalui seni pertunjukan. Fokus tahun ini menyoroti pertemuan budaya, nilai-nilai tradisi, dan eksplorasi kreatif di tengah dinamika kontemporer seni pertunjukan.
Seni pertunjukan adalah bagian penting dari identitas budaya sekaligus ruang ekspresi yang berkembang mengikuti perubahan sosial, politik, agama, dan perjumpaan antarbudaya.
Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Dian Lakshmi Pratiwi dalam sambutannya menyampaikan apresiasi serta harapan besar terhadap program ini, khususnya karena adanya keselarasan visi antara Program UNESCO Jakarta dengan arah kebijakan Dinas Kebudayaan dalam mendukung ekosistem seni dan praktik kebudayaan yang berkelanjutan.
Moe Chiba selaku Chief of Culture Sector, UNESCO Regional Office Jakarta, menekankan beberapa poin penting, antara lain mengenai tujuan penyelenggaraan program, pendekatan lintas negara yang diusung (Indonesia–Malaysia–Singapura), serta pentingnya memperkuat kapasitas pelaku seni pertunjukan melalui pengalaman belajar yang kontekstual dan kolaboratif.
Moe Chiba mengatakan masih banyak praktik budaya yang kerap diklaim secara sepihak, meskipun sejatinya lahir dan tumbuh lintas wilayah. Sekarang banyak budaya yang diklaim sendiri-sendiri, padahal sebenarnya bisa dirayakan bersama. Irisan budaya di berbagai negara itu sangat banyak, dan seni pertunjukan memberi ruang untuk merayakan keberagaman tersebut.
"UNESCO tidak memposisikan diri sebagai ahli seni pertunjukan. Oleh karena itu, proses pendampingan sepenuhnya dipercayakan kepada para praktisi dan mentor. Kami ingin program ini menjadi ruang tumbuh bersama, bukan sekadar transfer pengetahuan satu arah," katanya.
Workshop mengangkat tema "Melatih Berpikir Melalui Pertemuan Budaya: Budaya Peranakan". Budaya Peranakan dipilih sebagai salah satu bentuk budaya-pertemuan paling penting di Asia Tenggara, yang berkembang dari interaksi lintas komunitas di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Peserta diajak memahami sejarah, simbol, nilai, serta narasi keseharian Budaya Peranakan dan bagaimana hal tersebut dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan seni pertunjukan.
Mentor program yang juga perupa dan koreografer, Melati Suryodarmo, mengatakan bahwa Peranakan bukan sekadar identitas historis, melainkan juga ruang refleksi atas persoalan identitas, diaspora, hingga pengalaman diskriminasi yang kerap luput dibicarakan.
Menurut dia, Budaya Peranakan masih hidup di masing-masing negara dengan latar sejarah yang berbeda. "Ini menjadi pemantik agar kita tidak melihat identitas secara sepihak, tetapi memahami perbedaannya dengan lebih jujur," kata Melati.
Sementara itu, dramaturg Ugoran Prasad mengulas bahasa Peranakan sebagai ruang pertemuan budaya, dengan studi kasus karya Cica oleh Cyntha Hariadi, serta pendekatan dramaturgi dalam seni pertunjukan. Pendekatan dramaturgi dalam pembacaan karya sastra dan pertunjukan.
Halim HD menyampaikan beberapa poin utama, antara lain pembacaan sejarah dan konteks sosial budaya seni pertunjukan di Indonesia, praktik kuratorial dalam lanskap seni kontemporer, tantangan ekosistem seni yang dihadapi para praktisi, terutama terkait keberlanjutan, dokumentasi, dan jejaring kerja, dan pentingnya kemampuan membaca fenomena sosial untuk memperkaya perspektif artistik.
Program ini melibatkan 91 peserta dari Indonesia yang berasal dari berbagai disiplin, yakni musik, tari, teater, dan produksi panggung, termasuk seniman disabilitas sebagai bagian dari komitmen inklusivitas.
Taufik Rahmadi dari Teater Braille mengaku tak menyangka bisa terlibat dalam program lintas negara ini. "Selama ini stereotype kami hanya dekat dengan musik. Di sini kami bisa mengeksplorasi seni peran dan bekerja bersama secara setara, hanya metodenya yang berbeda," katanya.
Program ini telah berjalan sejak September 2025, menjangkau sekitar 180 seniman dan 300 mahasiswa seni pertunjukan dari tiga negara. Rangkaian kegiatan dimulai dari webinar hingga lokakarya tatap muka, dengan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan langsung pertama.
Ke depan, lokakarya serupa akan berlanjut di Singapura dan Malaysia. Dari seluruh rangkaian tersebut, masing-masing negara akan memilih sepuluh seniman untuk terlibat dalam produksi akhir seni pertunjukan lintas negara yang direncanakan dipresentasikan pada Oktober 2026.
Melalui proses panjang ini, UNESCO berharap seni pertunjukan dapat menjadi medium yang merepresentasikan irisan budaya Asia Tenggara—bukan sebagai klaim sepihak, melainkan sebagai ruang refleksi, dialog, dan keberagaman yang inklusif.
