Universitas Sanata Dharma harapkan KLHK sosialikasikan "REDD+"

id REDD

Universitas Sanata Dharma harapkan KLHK sosialikasikan "REDD+"

Ilustrasi hutan Indonesia (antaranews.com)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengharapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyosialiasikan pengurangan emsisi deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ bagi masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan berbagai intansi.

Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Patrisius Mutiara Andalas SJ, di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma (PSL-USD) Yogyakarta bekerja sama dengan "Center for International Forestry Research" (CIFOR) tentang penerapan sistem pembagian manfaat atas aktivitas REDD+ di Indonesia.

"Penelitian ini berkontribusi dalam memberikan arah kebijakan terkait kerangka hukum dan kerangka operasional REDD+ yang tepat dan berpihak pada masyarakat miskin," kata Mutiara Andalas.

Ia mengatakan penelitian tersebut mencakup empat provinsi yang menjadi daerah basis pengembangan REDD+ di Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Melalui kontribusi penelitian tersebut, diharapkan proses implementasi dan pengembangan REDD+ di Indonesia dan berbagai negara mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi penerimanya, memperbaiki proses penentuan target penerima manfaat, dan mendukung pengoptimalan sistem pengelolaan hutan.

"Drastisnya penurunan kondisi hutan dan ketersingkaran masyarakat hutan di Indonesia dan berbagai negara menjadikan isu terkait hutan menjadi isu aktual dan layak diangkatdi ranah publik," katanya.

Ketua penelitian Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma (PSL USD) Yogyakarta Titus Odong Kusumajati di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan sosialiasi REDD+ harus melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat lokal, akademisi, maupun media.

"Sosialiasi REDD+ diperlukan suatu reorientasi skema pembagian manfaat REDD+ yang lebih mengakomodasi perolehan manfaat non-Cash bagi masyarakat sekitar hutan," kata Titus Odong.

Ia mengatakan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai konsep REDD+ dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan aktivitas REDD+. Hal ini ditengarai terjadi karena intensitas sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat yang rendah dan teknik sosialisasi REDD+ yang sulit dicerna oleh masyarakat awam di sekitar hutan (forest-dependent communities).

Selain itu, kata Titus, input kebijakan dan inspirasi pelaksanaan REDD+ di berbagai target wilayah pengembangan REDD+ yang mampu menjamin keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di lingkungan hutan.

"Ada kecenderungan masyarakat untuk memilih aktivitas pengelolaan lingkungan yang bisa memberikan manfaat non-cash serta melalui program-program pemberdayaan ekonomi dibandingkan dengan aktivitas pengelolaan lingkungan yang memberikan manfaat cash atau insentif uang kepada individu atau kelompok masyarakat," katanya.

Kepala Sub-Direktorat REDD+ Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novia Widyaningtyas mengatakan REDD+ sangat penting dalam upaya mitigasi hutan di Indonesia, perkembangan terkini akivitas REDD+ di wilayah Indonesia.

"Pengelolaan manfaat REDD+ yang mampu memaksimalkan manfaat sosial, serta pentingnya merangkul akademisi dan komunitas media dalam proses mitigasi hutan," katanya.

Pejabat KLHK tersebut juga mengungkap fakta peleburan BP REDD+, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kehutanan yang memang mendorong perlunya sejumlah penyesuaian di waktu awal. Namun selanjutnya semakin menjadi sarana untuk meningkatkan koordinasi dan pensinergian kerja berbagai bidang yang sebelumnya terpisah-pisah antara bidang-bidang kerja di bawah ketiga lembaga tersebut.
KR-STR
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024