Yogyakarta (ANTARA) - Pemberian remisi bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) kian disorot kala 23 narapidana koruptor menerima program pembebasan bersyarat pada 6 September 2022.
Para WBP kasus korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat itu merupakan bagian dari 1.368 napi dari semua kasus pidana di Indonesia yang saat itu mendapatkan hak bersyarat berupa pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.
Sejumlah pihak, antara ain, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana kemudian memunculkan istilah "obral remisi" untuk mengkritik keputusan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham tersebut.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej lantas menepis dan menegaskan bahwa pembebasan bersyarat terhadap 23 napi kasus korupsi sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Begitu pula dengan pemberian remisi maupun asimilasi, pemerintah akan tunduk patuh terhadap UU Pemasyarakatan yang disahkan pada Juli 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Beleid baru itu muncul setelah Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Kepala Lapas Kelas II A Wirogunan Yogyakarta Soleh Joko Sutopo tak ingin mendebat istilah "obral remisi" dengan retorika atau argumentasi lisan belaka.
Lagi pula, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan sudah final dan wajib dipatuhi, kecuali kelak digugat lewat judicial review dan kemudian dibatalkan.
UU Pemasyarakatan yang baru itu telah jelas mengamanatkan bahwa seluruh warga binaan memiliki hak yang sama, apa pun kasusnya.
Tidak ada lagi diskriminasi, baik kasus tindak pidana korupsi, narkoba, maupun pidana umum, semua memiliki hak dan layanan yang sama selama di lapas, termasuk dalam memperoleh remisi atau pembebasan bersyarat.
"Mau tipikor, mau maling ayam perlakuan di dalam lapas sama. Tapi kalau masih diproses di pengadilan silakan mau divonis mati atau seumur hidup," ucap Soleh.
Terpenting, bagi Soleh, tudingan obral remisi cukup dibuktikan dengan proses yang akuntabel dalam setiap tahapan pemberian hak seluruh napi, termasuk kasus korupsi.
Dasar penilaian perilaku dalam Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) yang menentukan remisi harus bisa dijelaskan secara objektif dan transparan dengan data serta ukuran-ukuran pasti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kendati demikian, saat awal menjabat sebagai Kalapas Kelas II A Wirogunan pada akhir Desember 2021, Soleh mengakui bahwa semangat untuk mewujudkan proses yang akuntabel ternyata tidak mudah.
Kala itu, penilaian perilaku dalam instrumen SPPN masih dilakukan para wali pemasyarakatan secara manual. Misalnya, kehadiran para napi dalam setiap kegiatan pembinaan di lapas setiap hari masih dicatat menggunakan pena di atas kertas.
Dengan pola manual, data napi yang tercatat dalam SPPN akan mudah dimanipulasi dan rentan diintervensi.
Di sisi lain, para wali pemasyarakatan yang masing-masing mengampu 20 napi juga berpeluang melakukan pencatatan dengan cara merapel di akhir bulan. Apalagi tugas pencatatan sejatinya bukan tugas pokok mereka sebagai pegawai di lapas.
Akuntabilitas data dengan TI
Tak lama setelah dilantik sebagai kalapas, Soleh yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Penyusunan Progam dan Laporan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham kemudian berpikir untuk mengintegrasikan instrumen SPPN dengan teknologi informasi.
Untuk menuangkan ide tersebut, Soleh lantas menemui para pegawai fungsional pranata komputer yang ada di Kanwil Kemenkumham DIY sehingga dalam kurun sebulan muncul sebuah aplikasi yang diberi nama "Assessment Center Narapidana" (Ascena).
Aplikasi Ascena memuat sejumlah data penilaian SPPN setiap napi meliputi nilai pembinaan kepribadian, nilai pembinaan kemandirian, nila sikap narapidana, hingga nilai kondisi mental narapidana yang seluruhnya terinput secara digital.
Dengan aplikasi itu, setiap napi memiliki peran aktif menentukan nilai SPPN masing-masing. Keikutsertaan napi pada setiap kegiatan pembinaan tidak lagi dicatat secara manual oleh wali pemasyarakatan.
Masing-masing napi secara mandiri harus mengisi kehadiran dengan menempelkan "kartu pembinaan" yang dilengkapi "chip" pada perangkat yang telah disediakan di masjid, gereja, serta tempat-tempat pembinaan yang lain di dalam lapas.
Perangkat digital tersebut kemudian secara otomatis mengirim data napi beserta jam kedatangan mereka pada basis data di Ascena.
Soleh juga menggandeng para psikolog untuk melakukan penilaian perubahan perilaku napi mulai dari awal masuk lapas, hingga nilai kondisi mental narapidana yang seluruhnya terinput secara digital di Ascena.
Setelah melalui berbagai penyempurnaan, pada Februari 2022 aplikasi itu mulai efektif digunakan di Lapas Wirogunan untuk menentukan penerima remisi Hari Raya Idul Fitri 2022.
Untuk menentukan napi yang berhak menerima remisi, wali pemasyarakatan, kepala seksi bimbingan napi, serta kalapas akan melihat data nilai SPPN yang ada di Ascena.
Data nilai di Ascena kemudian digabungkan dengan data pelanggaran para napi yang ada di sistem database pemasyarakatan (SDP) yang dimiliki Ditjen Pemasyarakatan.
Jika mencapai nilai yang ditentukan dan memenuhi persyaratan pokok sesuai perundang-undangan, maka masing-masing napi tanpa membeda-bedakan kasus pidananya berhak untuk diusulkan mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi, pencatatan nilai SPPN masing-masing napi siap dipertanggungjawabkan secara transparan, akuntabel, dan terukur sehingga tidak ada lagi istilah "obral remisi" karena semua warga binaan mendapatkan hak sesuai dengan kewajiban yang dilaksanakan.
Mekanisme itu menutup rapat celah gratifikasi. Oknum staf tertentu tidak memiliki peluang memperjualbelikan penentuan remisi atau pembebasan bersyarat para napi.
Selain untuk penilaian pembinaan, aplikasi tersebut memudahkan petugas pemasyarakatan dalam melakukan asesmen risiko dan asesmen kebutuhan terhadap napi.
Revitalisasi Pemasyarakatan
Aplikasi temuan Soleh Sutopo itu menarik perhatian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Kala meresmikan aplikasi Assessment Center Narapidana alias Ascena di Lapas Kelas II A Wirogunan, Yogyakarta pada 10 September 2022, Yasonna meminta Ascena dapat diintegrasikan dengan aplikasi lain di lingkungan kementeriannya sehingga memudahkan proses pembinaan di lapas hingga pemantauan bagi klien pemasyarakatan setelah dinyatakan bebas bersyarat.
Pembuatan Ascena dinilai tepat dan sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 7 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Keberadaan Ascena juga sejalan dengan Permenkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan.
Penyelenggaraan revitalisasi penting untuk meningkatkan kualitas fungsi pembinaan dalam mendorong perubahan perilaku dan penurunan tingkat risiko narapidana.
Dengan munculnya Ascena, Sang Menteri makin yakin bahwa teknologi informasi telah mengubah cara hidup, cara berinteraksi, cara merespons tantangan dalam pelayanan publik di tubuh Kemenkumham, termasuk untuk menjawab kritik pedas dalam menjalankan ketentuan perundang-undangan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menepis "obral remisi" ala Lapas Wirogunan Yogyakarta
Menepis "obral remisi" ala Lapas Wirogunan Yogyakarta
Mau tipikor, mau maling ayam perlakuan di dalam lapas sama. Tapi kalau masih diproses di pengadilan silakan mau divonis mati atau seumur hidup