Yogyakarta (ANTARA) - Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas menegaskan pentingnya menjaga tradisi Yogyakarta di tengah kemajuan zaman dan modernisasi, tidak hanya terjaga di lingkungan keraton tetapi juga di tingkat masyarakat.
"Kalau kita lihat budaya di masyarakat masih sangat terlihat jelas, misalnya seperti mau musim menanam atau ada kegiatan apa pasti warga bergotong royong untuk saling membantu, contoh lainnya seperti ada bersih desa,” kata GKR Hemas saat audiensi bersama PPK di Kraton Kilen (9/10).
Ia menyoroti peran masyarakat dalam menjaga tradisi seperti kegiatan "bersih desa" yang masih dilakukan secara rutin sebagai bentuk gotong-royong dan kekompakan.
“Bersih desa tidak hanya sekadar membersihkan lingkungan, tetapi juga menghidupkan semangat kebersamaan di desa. Ini adalah cara masyarakat menunjukkan bahwa tradisi ini masih hidup di tengah mereka,” ujar GKR Hemas.
Tradisi ini, menurutnya, menjadi simbol bahwa budaya lokal terus dilestarikan meskipun zaman terus berubah, seperti para perantau Yogyakarta yang meski tinggal jauh dari kampung halaman, tetap menjaga tradisi budaya.
"Banyak orang Jogja yang bekerja di Jakarta, misalnya, tetap terhubung dengan budaya asal mereka. Mereka ikut dalam kegiatan wayangan, diskusi budaya, dan menjaga kebersamaan meski jauh dari Yogyakarta,” kata GKR Hemas.
Ia mengapresiasi para perantau yang terus menjaga tradisi dalam kesibukan mereka, menekankan bahwa budaya harus dibahas dan dipertahankan agar tetap relevan di era teknologi dan perkembangan zaman yang pesat.
Selain itu, GKR Hemas berbagi pengalaman saat diminta memberikan pendapat mengenai buku yang ditulis oleh mahasiswa UIN Jakarta tentang tradisi Sekaten dan Maulid Nabi di keraton.
Meskipun ia mengapresiasi upaya penelitian ini, GKR Hemas mengingatkan agar hal tersebut tidak hanya mencerminkan aspek budaya, tetapi juga perlu mempertimbangkan unsur religius dalam tradisi tersebut.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terkait penelitian yang banyak mengadopsi aspek Islam dalam tradisi keraton tanpa klarifikasi yang cukup mengenai kesesuaian dengan aturan keraton.
Dalam kesempatan ini, GKR Hemas juga menyampaikan keprihatinan tentang generasi mendatang yang mungkin kurang memahami keistimewaan Yogyakarta.
"Kami khawatir generasi mendatang tidak akan memahami makna dan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta. Penting bagi mereka untuk mendalami pengetahuan tentang kebudayaan,” tuturnya.
Ia juga berharap bahwa para Putra Putri Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya ikut dalam kompetisi, tetapi benar-benar mendalami dan memahami budaya Yogyakarta.
“Jangan hanya sekadar ikut kompetisi tanpa menambah pengetahuan tentang budaya. Ada banyak panduan yang bisa diakses untuk memperdalam pengetahuan itu,” pesannya.
GKR Hemas menutup pembicaraan dengan harapan agar generasi muda tetap mempertahankan identitas budaya Yogyakarta sembari memiliki daya saing di tingkat nasional.
"Sebagai kota budaya dan pendidikan, Yogyakarta harus tetap berani bersaing dengan dunia luar, tetapi tidak melupakan jati diri dan tradisi yang ada,” pungkasnya.
Forum Komunikasi Putra Putri Keistimewaan DIY yang beranggotakan 70 pemuda-pemudi juga mengungkapkan rencana mengadakan ajang Putra Putri Keistimewaan Indonesia pada tahun 2026.
Mereka berharap dapat mendapat dukungan penuh dari GKR Hemas untuk mewujudkan ajang tersebut dan memperkenalkan keunikan budaya Indonesia dari berbagai daerah.
