Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Fikri Disyacita menyoroti rendahnya budaya membaca di kalangan mahasiswa yang berdampak pada kemampuan analisis dan konsistensi Gerakan perubahan sosial (agent of change).
Dalam acara "Sekolah Pecinta Indonesia" yang digelar BEM FT UNY di KPLT Lantai 3 FT UNY, Sabtu (18/10), dari 70 lebih peserta yang hadir, hanya enam orang yang mengaku membeli buku sepanjang Oktober 2025.
"Bacaan dan kemauan untuk membaca itu biasanya berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk bersikap dan berpendapat. Ini adalah hal yang saya yakini sebagai sebuah aksioma," ujar Fikri di hadapan puluhan mahasiswa.
Pakar politik ini menegaskan bahwa politik soal imajinasi, dan imajinasi itu lahir dari membaca.
Ia mencontohkan presiden pertama Bung Karno yang tidak hanya menguasai ilmu teknik, tapi juga memiliki pengetahuan lain yang berawal dari membaca di rumahnya.
"Kalau Bung Karno dulu hanya kuliah teknik saja dan tidak punya imajinasi untuk membangun bangsa, dia tidak akan jadi seperti yang kita kenal sekarang. Politik itu soal imajinasi, darimana kita dapat? Dari membaca," jelasnya.
Fikri mengkritik mahasiswa yang hanya mengandalkan PowerPoint dosen tanpa membaca buku referensi. Menurutnya, membaca buku tidak hanya tentang menyerap informasi, tetapi melatih kemampuan analisis kata per kata untuk membangun argumen yang solid.
Membandingkan dengan gerakan reformasi 1998, Fikri menjelaskan bahwa mahasiswa saat ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks.
Jika pada masa reformasi terdapat figur musuh bersama yang jelas, kini persoalan bangsa bersifat multidimensional tanpa prioritas yang tegas.
"Kalau dulu kita punya figur atau imajinasi tentang musuh bersama siapa yang menyebabkan situasi menjadi semakin tidak karuan, sekarang medan yang kalian hadapi itu jauh lebih kompleks," katanya.
Ia menyebut penyakit gerakan Indonesia adalah semangat tinggi di awal tetapi tidak konsisten.
"Setelah tujuan tercapai, energi habis di depan. Orang-orang yang punya agenda sempit kemudian masuk dan membajak gerakan," kritiknya.
Fikri menilai gerakan sosial saat ini tidak lagi mengandalkan tokoh besar, melainkan bersifat akar rumput seperti rumput teki yang terus tumbuh meski dicabut.
Mahasiswa kini cenderung melepas identitas kampus dan menjadi bagian dari rakyat secara umum.
Ia mendorong mahasiswa menguasai jalur komunikasi baru seperti media sosial dan platform digital untuk mempengaruhi opini publik.
"Pengaruh kita untuk berpengaruh ada di situ. Bisakah kita mengambil tempat itu untuk mendesak agenda yang lebih pro terhadap masyarakat?" tanyanya.
Dia yang juga pengampu mata kuliah Sejarah Politik Pemerintahan Indonesia ini menekankan pentingnya kemampuan storytelling dan pengolahan data.
Ia menyebut kemampuan mengemas data menjadi narasi yang mudah dipahami adalah kecakapan yang tidak banyak dimiliki orang.
"Kemampuan untuk berbicara dengan bahasa yang ringkas, orang yang tidak mengerti pun jadi mengerti, itu tidak semua orang bisa," ujarnya.
Fikri menekankan konsep "everyday is political" bahwa kehidupan sehari-hari adalah tindakan politik. Mulai dari memilih menu makan, membaca buku, hingga menghadiri diskusi, semuanya mengandung dimensi politik.
"Maknailah setiap tindakan sehari-hari kita sebagai tindakan yang politis, karena politik itu ada di mana-mana," tegasnya.
