Yogyakarta (ANTARA) - Tangan Vita bergerak berlahan, mengambil barang bawaan yang sebelumnya digantungkan di bawah setir sepeda motor, yang baru saja ia letakkan di antara mobil dan sepeda motor lainnya yang sudah lebih dulu terparkir di depan rumahnya.
Langkahnya terlihat berat, wajahnya pun tak memancarkan senyum seperti biasanya. Seluruh barang bawaan itu diletakkan secara perlahan di atas kursi kayu panjang, sekitar 1,5 meter dari sepeda motornya. Ia pun melepas jaket, lalu duduk di samping barang bawaan tersebut.
Dengan perlahan, Vita, panggilan akrab Vitalia Nur Darmaningsih, pemilik Batik Jinggar ini pun menceritakan dirinya baru saja kembali dari rutinitas mengantar dan mengambil kain Batik Nitik ke rumah pembatik perempuan yang jaraknya belasan kilometer dengan sepeda motornya.
Setelah perjalanan panjang itu, ia akhirnya tiba di rumahnya yang juga merupakan Rumah Batik Jinggar, lokasinya berada di Jalan Tohpati Nyutran No. 17 atau lebih mudah dijangkau dari Jalan Tamansiswa 55151 Wirogunan, Kecamatan Mergasan, Kota Yogyakarta.
Ibu dua anak yang kini menginjak usia 50 tahun ini mengaku telah dua tahun menjalani rutinitas tersebut, sebagai salah satu cara untuk ikut melestarikan batik, sebagai warisan budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO (sejak 2009), serta Batik Nitik, satu-satunya motif batik tulis yang memperoleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai Indikasi Geografis oleh Kemenkumham, sekaligus sebagai salah satu batik tertua di Yogyakarta yang masih lestari hingga kini.
“Barusan tadi saya mengambil batik dari rumah Mbah Nur, pembatik perempuan usianya 80 tahun. Masih terbawa sedih, karena Mbah Nur cerita kalau kemarin terpeleset, bagian kakinya kena, sehingga harus pakai kruk. Beberapa waktu ke depan, Mbah Nur tidak bisa membatik,” cerita Vita perlahan dengan mata berkaca-kaca.
Kicauan beragam burung dalam sangkar yang digantung di atas kursi tempat Vita duduk, ditambah suara berkeoknya sejumlah ayam kate yang dilepas liar pun tak mampu meredakan kesedihan mendalamnya.
Tumbuh bersama pembatik perempuan
Meski usianya telah senja, seperti yang diungkapkan Vita, Mbah Nur tetap menjadi pembatik andalan baginya dan sudah terjalin chemistry yang cukup kuat.
“Mbah ini begini, sebelah sini, yang ini begini, dan hasilnya benar-benar seperti yang saya harapkan,” cerita Vita penuh rasa Syukur karena menemukan Mbah Nur.
Tidak selalu bicara bisnis, bagi Vita dengan menggandeng pembatik perempuan seperti Mbah Nur, justru menjadi jalan untuk melestarikan para pembatik-pembatik perempuan tetap bisa berkarya meskipun telah lanjut usia.
Bahkan tidak hanya Vita yang bisa mendapatkan karya apik dari tangan-tangan pembatik perempuan yang sudah udzur, mereka pun juga merasa mendapatkan harapan karena mendapat kesempatan, bahkan dihargai dari sisi finansial.
“Alhamdulillah bisa ‘ngasih’ (memberi) ke anak-anak,” kata Vita menirukan Mbah Nur seusai menerima upah membatik dua lembar kain yang biasanya diselesaikan dalam satu atau dua bulan.
Tidak hanya Mbah Nur, pembatik perempuan lainnya yakni Siti Daimah (55) yang membatik di Rumah Batik Jinggar juga merasakan manfaat serupa, karena tidak hanya bisa menambah uang untuk sekolah anaknya, tetapi dirinya juga bisa ikut melestarikan batik yang merupakan warisan budaya.
“Sejak anak saya masih SD sampai sekarang sudah kuliah, saya membatik di sini,” kata Siti sembari dengan telaten mencelupkan canting ke wajan berisi malam cair panas yang berada di atas kompor listrik bertuliskan logo PT Pertamina.

Saat itu, ibu satu anak warga Kabupaten Bantul, DIY ini tengah menyelesaikan kain mori dengan Motif Segoro Amarto. Kain tersebut nantinya akan dijadikan sebagai seragam para guru dan siswa di berbagai sekolah yang ada di Yogyakarta.
“Membatik itu asyik, menyenangkan, bahkan bisa sambil merenung,” ujar Siti yang kemudian menceritakan seluruh tahapan dalam proses membatik, dari menyiapkan kain putih, memberi pola, mulai proses membatik dengan malam, pewarnaan, melorot atau menghilangkan malam, sampai tahap akhir menjadi bahan siap dijadikan baju, seragam, atau yang lainnya.
Menggandeng para pembatik perempuan seperti Mbah Nur atau Siti, merupakan langkah kecil bagi Vita dalam pemberdayaan perempuan, sekaligus upaya untuk melestarikan Batik Nitik, sebuah warisan budaya khas dari Yogyakarta.
Batik Nitik, pertahankan warisan dengan sentuhan kekinian
Nitik, yang berasal dari Bahasa Jawa berarti memberi titik, adalah seni batik yang sangat khas. Ribuan titik ditata berderet dengan rapi membentuk pola-pola geometris, bentuk bunga, daun, dan garis-garis panjang, tanpa digoreskan atau diseret, melainkan dititikkan.
Pembuatan batik ini melibatkan ketelatenan tangan-tangan pembatik perempuan dan hasilnya bervariasi, mulai dari seukuran selendang kecil, hingga kain berukuran besar yang tertata rapi di salah satu sudut Rumah Batik Jinggar.
Motif-motif yang dihasilkan sebagian besar terinspirasi oleh motif batik kuno yang diangkat kembali dengan sentuhan tersendiri, sehingga menjadi batik yang lebih kekinian, salah satunya motif batik alas-alasan, yang menggambarkan flora fauna yang ada di alam.
“Batik-batik lama itu memang amat sangat beragam dan menarik. Motif-motifnya unik dan layak diangkat kembali. Saya merasa berkewajiban mengemasnya menjadi lebih kekinian,” kata Vita yang mengaku selalu memperkaya dan memodifikasinya, sehingga melahirkan kekhasan Batik Jinggar.
Untuk menjaga agar Batik Nitik tetap relevan dan dinikmati semua kalangan, Vita pun memilih bahan yang ringan dan nyaman, sehingga bisa dikenakan dimana pun dan kapan pun, serta tidak takut merasa tua atau kuno.
“Saya berharap motif Batik Nitik terus bertambah dengan inovasi yang saya kembangkan. Untuk idenya biasanya beragam mulai dari buku yang ada di perpustakaan hingga batik yang dikenakan oleh simbah-simbah. Selalu ada pertanyaan, motif apa nih yang bisa menginspirasi saya,” cerita Vita yang juga gemar mengoleksi batik kuno.
Transformasi Batik Nitik dengan sentuhan desain, motif, dan bahan yang terus berkembang, menjadikannya diterima oleh berbagai kalangan, dari generasi muda hingga tua, tidak sekadar hanya jadi kebanggaan Yogyakarta, tetapi simbol warisan yang terus hidup, dikenakan anak -anak muda untuk tampil modis dengan batik.

Lahirkan Motif Pertamina
Kreatif dan inovatif, bagi Vita adalah kunci yang membuka jalan bagi pertumbuhan tanpa henti di era saat ini, dan dukungan dari Pertamina memberikan warna yang menghidupkan perjalanan panjangnya, dari awal hingga bisa menembus batas, tidak hanya nasional tetapi juga dunia internasional.
Perjalanan panjang yang ia tempuh, dimulai dari merintis usaha dengan membeli batik untuk dijual kembali di rumahnya, belajar dari nol untuk membatik, sampai akhirnya berhasil melahirkan merek yang ia terus rawat, hingga bisa tumbuh sampai saat ini.
Tak ada seorang pun dalam keluarganya yang memiliki darah pembatik, kecuali ibunya yang berjualan batik di Pasar Bringharjo yang mungkin tanpa sadar, menjadi benih inspirasi yang tumbuh dalam diri Vita.
Ia banyak bersyukur menjadi salah satu usaha kecil mikro (UKM) yang menjadi binaan PT Pertamina Patra Niaga, karena ia mendapatkan pinjaman modal usaha dari mulai Rp20 juta, Rp30 juta, Rp50 juta, dan paling banyak Rp70 juta yang mendorongnya untuk terus berkembang, serta beragam pelatihan yang memperkaya ketrampilannya, sampai orderan pekerjaan.
“Nah ini batik Motif Pertamina yang dulu berupa desain awal. Ini sudah jadi dan sudah diwarnai,” kata Vita membuka lipatan kain batik tersebut secara berlahan sampai terbuka sempurna.
Sesuai dengan namanya, pada lembaran kain Motif Pertamina lengkap dengan gambar yang khas dengan Pertamina seperti SPBU, mobil tangki, pesawat terbang, dan lainnya dengan warna cerah yang enak dipandang mata.

Berkat bantuan Pertamina, Vita melanjutkan ceritanya, dirinya juga mendapatkan bantuan kompor listrik untuk membatik sampai berkesempatan ikut ke ajang pameran internasional di Malaysia sekaligus sebagai gerbang bagi Batik Jinggar melangkah ke pasar global.
“Jadi saat pameran di Malaysia, ada yang membeli Batik Jinggar dalam jumlah banyak untuk dijual kembali. Tidak hanya Malaysia, Batik Jinggar pun juga dijual kembali di Singapura dan dibawa ke Dubai,” cerita Vita yang tak lagi bisa menghitung banyaknya kesempatan baik yang diberikan Pertamina kepada dirinya sebagai salah satu representasi membawa branding budaya Indonesia ke kancah dunia industri tingkat global.
Pencapaian tersebut, tambah Vita, salah satunya karena dirinya juga mengikuti UMK Academy yang diselenggarakan PT Pertamina Patra Niaga.
UMK Academy merupakan pelatihan yang bertujuan mengakselerasi para UMK lebih cepat naik kelas, semakin maju, tangguh, berkualitas, mandiri, dan berdaya saing, terhubung dengan rantai pasok global, serta mampu memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat sekitar.
Pelatihan itu di antaranya, membahas strategi manajemen waktu; pengelolaan arus kas dan pembukuan; pengembangan usaha lewat riset, analisa pasar, dan inovasi produk; digital marketing dan branding produk; serta mengenalkan bisnis ramah lingkungan dengan konsep Go Green.

Selain kurikulum tersebut, Taufiq Kurniawan, Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah berharap Pertamina UMK Academy, yang telah dijalankan sejak 2020 ini, juga mengusung Go Green agar UMK bisa lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan.
"Kami berharap ilmu yang telah diperoleh ini bisa dapat diterapkan langsung oleh para UMK agar bisnis mereka semakin berkembang secara berkelanjutan. Semoga para pelaku UMK bisa membangun sinergi dan networking dengan para pelaku usaha lainnya demi kelangsungan usahanya," ujar Taufiq yang menyebut saat ini ada 850 UMKM binaan.
Terkait Go Green, Vita juga mengaku telah mengimplementasikan konsep ramah lingkungan dalam produksinya, salah satunya dengan menggunakan pengering batik berbasis energi terbarukan, memanfaatkan sinar matahari, sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada sumber energi fosil.
Langkah tersebut memungkinkan Batik Jinggar tetap bisa berproduksi dengan cepat meskipun cuaca buruk atau listrik padam dan dengan teknologi tersebut, dirinya kini tak lagi khawatir soal keterlambatan produksi.
“Saat musim penghujan, biasanya pembatik sering terkendala dengan produksi yang lambat dan warna tidak keluar, namun tidak dengan Batik Jinggar yang telah menggunakan pengering batik tenaga surya. Kami bisa mempercepat produksi dan bisa menghemat tenaga,” kata Vita berbagi kebahagiaan
Lestarikan warisan, membangun masa depan
Tidak hanya batik tulis, Batik Jinggar pun memproduksi batik cap, yang tidak terbatas pada lembaran kain, melainkan juga dalam bentuk pakaian siap pakai, biasanya berupa kemeja, baju santai, baju tidur, outer, baju resmi kantoran dengan model yang beragam.
Untuk kalangan remaja atau anak muda, batik yang dihadirkan seringkali tidak bermotif penuh, melainkan hanya sebagian seperti hanya bagian dada, sedangkan lainnya polos.
“Baju batik ini ‘bikinan’ ibu. Modelnya ngikutin tren anak-anak muda. Jadi bisa merasa percaya diri memakainya. Teman-teman banyak yang tertarik dan bilang baju batiknya keren,” cerita Gevara Raenaldi Pamungkas (18), anak kedua Vita penuh bangga sembari menunjukkan baju batik warna biru yang dikenakannya itu, adalah andalan yang sering dipakainya ke sekolah.

Siswa kelas tiga SMK Tekstil ini pun sangat paham dengan dunia batik. Ia pun menunjukkan dan menjelaskan beragam alat cap membatik serta jenis ukuran canting yakni cecek untuk membatik dengan ukuran motif kecil, canting klowong untuk membuat garis, dan canting tembok yang digunakan untuk ngeblok.
Sebagai anak muda, Gevara mengaku bahwa cara padangnya juga pandangan teman-temannya banyak berubah mengenai batik karena seiring waktu, batik hadir dengan kemasan yang lebih modern, tidak terkesan kuno, dan relevan bagi kalangan muda.
Vita sendiri sebagai pemilik Batik Jinggar pun sering memberikan pelatihan mengenai batik termasuk kepada anak-anak muda, serta melibatkan remaja di lingkungan sekitar untuk mengenal lebih banyak soal batik sekaligus untuk regenerasi.
“Ada remaja, anak tetangga yang belajar mengenal batik dengan membuat konten untuk media sosial Batik Jinggar. Melalui cara seperti ini, mereka secara berlahan akan memahami batik,” kata Vita.
Langkah tersebut, lanjut Vita, diharapkan tidak hanya tentang edukasi tetapi juga membuka peluang kerja bagi anak muda dan sebagai model usaha yang mendukung perekonomian lokal, sekaligus melestarikan budaya Indonesia.
Vita mengakui untuk menjaga kelestarian batik di era modern saat ini, dibutuhkan terus berinovasi, mengikuti tren mode, serta memperluas jaringan, agar Batik Jinggar tetap relevan di zaman sekarang.
Hal itu, tambahnya, membutuhkan dukungan dari seluruh stakeholder terkait, untuk bersama-sama menjaga batik sebagai identitas budaya Indonesia termasuk untuk melahirkan Mbah Nur – Mbah Nur lainnya, karena melestarikan warisan, bukan hanya soal menjaga masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik.
“Iki aku isih kepikiran Mbah Nur ngejak salaman, dingapuro nggeh kulo, kulo nggeh dingapuro Mbah (Ini saya masih kepikiran Mbah Nur mengajak berjabat tangan, dimaafkan ya saya, saya juga minta maaf Mbah),” cerita Vita berulang karena gelisah dan ia mendoakan kaki Mbah Nur segera sembuh dan kembali sehat.
“Aamiin”
