Yogyakarta (ANTARA) - Senyum perempuan separuh baya berkerudung motif warna biru itu pun merekah, saat dua pengunjung memasuki rumah joglo bertuliskan “showroom” yang terpasang di depan bangunan.
Dirinya yang awalnya duduk di salah satu kursi penjalin warna cokelat yang ada di ruangan itu pun, langsung berdiri lalu berlahan sedikit membungkuk bentuk hormat ke tamu dan mengulurkan tangannya, tanda mempersilakan tamu memasuki ruangan yang dipenuhi pajangan kain batik yang tertata rapi di kanan kiri.
Perempuan bernama Nur Jannah itu pun mendekat ke pengunjung, lalu menjelaskan beragam motif batik tulis, karya dari tangan-tangan perempuan pembatik lokal Wukirsari, desa yang mendapat pengakuan internasional karena masuk dalam daftar desa wisata terbaik dunia versi United Nations World Tourism Organization (UNWTO).
Selepas melayani pengunjung, ibu dari tiga anak ini pun bergeser ke arah gazebo yang berada di depan showroom. Dirinya bersama dengan pembatik lainnya menata enam dingklik, kursi kayu kecil mengelilingi kompor lengkap dengan wajan berisi malam cair. Mereka bersiap mendampingi peserta workshop untuk praktik membatik pada satu lembar kain putih seukuran sapu tangan dengan motif beragam, beralaskan triplek.
“Sampaikan kalau duduknya jangan menghadap kompor ya, karena bisa ketendang dan bisa celaka. Apalagi ini kompornya menyala. Menyamping ya duduknya, kompor ada di sebelah kanan kita,” kata Nur Jannah meminta kepada salah satu peserta agar menjelaskan kembali apa yang disampaikannya kepada peserta lain berkewarganegaraan asing pada workshop saat itu.
Usai menjelaskan satu persatu teori mulai dari cara duduk, memegang canting, cara mengambil malam cair panas agar tidak menetes ke tangan atau paha, hingga cara mengaplikasikan malam panas dengan canting mengikuti pola yang ada, Nur Jannah (56) yang telah belajar membatik sejak usia 10 tahun ini pun dengan sabar bergantian mengecek dan membetulkan jika ditemukan ada yang kurang pas dari lima orang peserta yang ia dampingi.

Cerita Panjang Desa Wukirsari
Mendampingi para peserta workshop untuk membatik seperti yang dilakukan Nur Jannah, merupakan salah satu nilai jual yang ditawarkan Kampung Batik Giriloyo, Wukirsari sebagai desa wisata yang tidak terlahir begitu saja, karena telah melewati masa perjuangan yang cukup panjang dan penuh "asam garam".
“Batik di Wukirsari ini sudah ada sejak abad ke-17, cerita singkatnya dulu batik tulis hanya dikenakan oleh keluarga keraton. Mereka sering ke daerah kami, karena makam para raja ada di sini. Banyak warga yang menjadi abdi dalem untuk yang laki-laki dan yang perempuan menjadi buruh batik,” cerita Nur Jannah.
Sebagai buruh, ia melanjutkan ceritanya, pembatik Wukirsari menjual hasil batiknya ke para juragan yang ada di Kota Yogyakarta, namun dengan keuntungan yang kecil. Tidak jarang, juragan pun enggan membelinya, seperti yang pernah dialami perempuan pembatik lainnya bernama Kiptiah. Ia sempat berada di titik terendah, ketika tidak ada satu pun juragan yang bersedia membeli hasil batiknya.
“Saya sempat ‘down’ saat juragan tidak mau membeli hasil membatik saya, padahal saat itu saya butuh uang untuk sekolah anak, yang saat itu mau masuk TK. Saya sudah membatik siang malam, begitu sudah selesai, tidak ada yang mau membeli. Saya nangis, kecewa, sedih, dan ‘kapok’ tidak lagi mau membatik karena merasa batik tidak ada harganya, tidak ada yang mau beli,” cerita pembatik berusia 58 tahun ini berkaca-kaca.
Masa-masa sulit dari para pembatik Wukirsari pun berakhir, setelah gempa di tahun 2006 yang menimpa daerah Yogyakarta dan sekitarnya yang justru menjadi tonggak perkembangan, karena banyak mata mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah atau non-governmental organization (NGO) yang memberikan perhatian lebih dan ingin mengembalikan perekonomian masyarakat sesuai potensi daerah setempat yakni membatik.
“Saat itu, ada banyak pelatihan yang diberikan di desa kami mulai membatik, mewarnai, berjualan, organisasi, sampai manajemen usaha. Semua saya ikuti, semua saya pelajari, tidak pernah berhenti belajar, dan setiap ada kesempatan tidak ada yang terlewatkan,” cerita titik balik Kiptiah bangkit dari keterpurukan dan kembali ke dunia membatik.

Perjuangan Kiptiah dan para pembatik lainnya membuahkan hasil. Ibu dua anak ini mengaku menjadi salah satu pembatik yang menggawangi berdirinya organisasi Batik Giriloyo, Desa Wukirsari yang berhasil menunjukkan “taringnya” di tahun 2022, mendapatkan sertifikasi desa wisata berkelanjutan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ( Kemenparekraf); tahun 2023 sebagai desa wisata Indonesia; dan tahun 2024 masuk sebagai desa wisata terbaik dunia versi UNWTO.
Ada 600 lebih pembatik di Desa Wukirsari yang terus menjaga kelestarian batik dengan beragam motif khas, setidaknya ada lima motif yang terus dijaga di antaranya Motif Sirgunggu (terinspirasi dari tanaman herbal yang biasa dipakai untuk gurah, tradisi pengobatan khas Giriloyo).
Motif lainnya yakni Motif Tumuran (dalam Bahasa Jawa artinya mudhun. Bagi pemakai batik ini diharapkan mendapatkan petunjuk, rahmat, dan berkah dari Tuhan YME, sehingga mendapatkan kemuliaan dalam hidupnya); Motif Truntum (cinta kasih yang tulus dari orang tua, karenanya motif ini biasa dipakai saat acara perkawinan oleh orang tua mempelai, sebagai simbol cinta kasih orang tua ke anak yang akan dilakukan oleh sang suami).
Sidomukti, merupakan motif lain yang ada di Desa Wukirsari. Dari namanya, motif Batik Sidomukti memberikan pengharapan agar pemakainya mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan hidup yang mulia; serta Motif Wahyu Temurun (memiliki arti firman Allah yang diturunkan malaikat untuk seluruh makhluk-Nya. Motif ini pernah dibeli Kaisar Naruhito dari Jepang).
Mengubah Wajah Pendidikan
Transformasi yang dialami Desa Wukirsari tidak hanya terlihat pada sektor pariwisata, tetapi juga pada peningkatan kualitas pendidikan warganya. Sebelumnya, Nur Jannah harus berjuang keras untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Anak saya tiga, dua tidak kuliah bukan karena tidak pintar, mereka selalu masuk lima besar. Tapi, dulu tidak ada biaya untuk mereka kuliah. Alhamdulillah anak yang terakhir bisa kuliah, sejak Wukirsari jadi desa wisata. Saya kerja di sini, penghasilan lebih dari sebelumnya,” cerita Nur Jannah yang membiayai sekolah anaknya seorang diri dan kini anaknya tengah kuliah di perguruan tinggi kedinasan.
Tidak hanya anaknya Nur Jannah, anak-anak pembatik lainnya juga berhasil melanjutkan pendidikan tinggi. Salah satu anak Kiptiah yang berhasil meraih beasiswa pendidikan S2 di Jepang dan ada juga anak dari pembatik Istijanah yang kedua anaknya juga menyelesaikan pendidikan dengan gelar sarjana.
Pendidikan yang lebih baik kini menjadi kenyataan bagi banyak keluarga pembatik di Wukirsari, dengan semakin banyaknya anak muda yang berhasil meraih gelar sarjana dan melibatkan diri dalam pengembangan desa.
Lahirnya anak-anak muda dengan pendidikan yang tinggi tersebut, memberikan nilai lebih bagi Desa Wukirsari karena memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni termasuk saat menerima wisatawan mancanegara di wilayah mereka.
“Batik is an ancient technique to make a patterned cloth using a reverse dyeing process utilizing hot wax,” kata Tiyastiti Suraya, S. Si., M.E.M, anak kedua pembatik Kiptiah mengawali materinya di hadapan puluhan mahasiswa dari Kampus Vrije Universiteit Medical Center (Belanda), Mahidol University (Thailand), dan beberapa universitas lain dari Indonesia, Pakistan, dan Myanmar saat itu.

Tiyastiti merupakan satu dari sejumlah anak muda dari para pembatik di Desa Wukirsari yang tumbuh dan sukses dalam dunia pendidikannya, berkat membatik para orang tuanya dan dirinya pun ikut melestarikan batik sebagai bagian dari daftar warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Penjelasan yang disampaikan Tiyastiti begitu fasih mengenai sejarah batik di Desa Wukirsari, bahkan dirinya tidak sekadar paham teori, tetapi telah khatam mengenai seluruh tahapan batik dari mulai pembuatan pola sampai hasil akhir, karena dirinya telah praktik dan membatik sejak usia dini yang sudah menjadi tradisi di desa yang kini menjadi desa eduwisata ini.
“Di sini, anak-anak sejak kecil wajib belajar membatik. Seperti saya, sudah membatik sejak umur 7 tahun dan sudah bisa punya uang jajan sendiri di usia 10 tahun. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga diajari membatik meskipun biasanya untuk laki-laki banyak yang ambil bagian di luar nyanting. Wajib mengajari membatik, untuk mewariskan tradisi agar batik selalu ada,” kata Kiptiah, ibu dari Tiyastiti.
Tidak hanya perempuan, Ahmad Bahtiar, pemuda berusia 26 tahun ini pun aktif dan menempati posisi sebagai Sekretaris Pengelola Desa Wisata Wukirsari yang memiliki visi berbudaya sejahtera dan mendunia, menjaga budaya adiluhung, menjadikan masyarakat sejahtera dan semakin dikenal dunia ini.
"Anak muda di sini tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mencari pekerjaan, di rumah sendiri pun tersedia lapangan pekerjaan," kata pemuda bergelar sarjana yang memiliki mimpi menjadikan Desa Wisata Wukirsari tidak hanya menjadi best tourism village versi UNWTO, tetapi juga bisa meraih beragam kejuaraan Internasional lainnya ini.
Mengubah Ekonomi Desa
Sumber daya manusia yang mumpuni tersebut menjadikan Desa Wukirsari yang lokasiya berada sekitar 17 km dari pusat Yogyakarta atau sekitar 30-40 menit dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum ini mampu menjadi “magnet” bagi wisatawan.
Jumlah kunjungan 7.000 sampai 10.000 orang wisatawan per bulan ke Desa Wukirsari sukses memberikan dampak ekonomi langsung ke sekitar 8.000 warga setempat termasuk Wartinah yang mengaku bisa mewujudkan impian terbesarnya bersama kelompok membatiknya pergi umroh ke Tanah Suci.
“Alhamdulillah dengan membatik bisa berangkat umroh dan meskipun sudah pernah, ini masih selalu ada keinginan untuk kembali ke sana,” cerita pembatik perempuan usia 65 tahun ini antusias.
Ia menceritakan tidak hanya soal uang, namun ada rasa yang membuatnya terpanggil untuk terus membatik meski penglihatannya sudah mulai berkurang akibat katarak yang dideritanya dan baginya berada di workshop membatik, bertemu banyak wisatawan, dan bisa berbagi ilmu menjadikannya semakin sehat.
“Dulu saat masih muda, saya bisa membatik sampai jam 12 malam. Setiap luang waktu pasti digunakan membatik, ndak tahu senang rasanya saat membatik. Sekarang seiring usia sudah mulai berkurang waktu membatiknya, apalagi seperti saat ini seharian full ada di sini,” kata Wartinah sembari menyelupkan kain mori putih yang sudah diberi malam, dimasukkan ke ember berisi cairan pewarna.
Tidak hanya satu pembatik, tetapi ada Wartinah-Wartinah lain yang merasakan dampak positif, adanya peningkatan ekonomi dengan hadirnya Kampung Batik Giriloyo,Desa Wukirsari.

Respon Positif Wisatawan
Wartinah bersyukur di usianya yang tak lagi muda, dirinya sudah menjadi saksi anak dan menantunya meneruskan membatik, bahkan hasilnya digemari wisatawan mancanegara.
“Batik saya dan anak-anak saya, alhamdulillah disukai wisatawan dari Singapura," kata Wartinah yang menceritakan awalnya saat kunjungan, wisatawan dari Singapura ada yang tertarik dengan batik miliknya dan terus berlanjut pemesanan berulang. Bahkan tidak hanya Singapura, tetapi juga dari negara lain.
Tidak sekadar batik, wisatawan juga tertarik dengan workshop pengenalan dan praktik membatik secara langsung di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari. Hal itu disampaikan Michelle dan Luwam, wisatawan asal Belanda yang mengaku senang bisa belajar membatik, apalagi mendapatkan pendampingan yang sangat baik dari para pembatik lokal.
“Membuat batik sangat menarik. Betul ini sangat sulit dan panjang prosesnya. Ini luar biasa dan hasilnya sangat cantik,” kata keduanya sembari menunjukkan lembar kain yang sudah diberikan malam.
Keduanya mengakui para perempuan pembatik yang ada di Desa Wukirsari memiliki kesabaran yang tinggi mendampingi para pembatik pemula dan membuktikan hasil yang apik di akhirnya.
Untuk menghadirkan suasana yang menarik praktik membatik, pengelola pun terus melakukan perbaikan dan perluasan gazebo serta melakukan peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang ada.
"Kami bersyukur ASTRA tidak hanya memberikan pengembangan SDM, kami juga mendapatkan bantuan limasan, joglo tengah sawah dan landmark tengah sawah," cerita Ahmad Bahtiar.
ASTRA, lanjut Ahmad Bahtiar juga memberikan pelatihan digital marketing, memberikan pembiayaan keberangkatan ke luar negeri untuk rapat tahunan best tourism village, dan membawa desa binaan yang lain study banding ke Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari.
Banyaknya dukungan dari ASTRA dan sejumlah pihak tersebut, menjadikan membatik bagi warga Desa Wukirsari, bukan sekadar sebuah keterampilan, tetapi sebagai harapan dan jalan menuju perubahan dan seiring berjalannya waktu, impian mereka perlahan menjadi kenyataan.
Hal itu sejalan dengan pepatah "Dimana ada kemauan, di situ ada jalan”, Desa Wukirsari telah menjadi bukti nyata, dengan tekad, kerja keras, dan kebersamaan di antara mereka, menjadikan transformasi yang mereka lakukan terus menginspirasi bagi siapa pun.

