Jakarta (ANTARA) - Setiap 18 Desember, dunia memperingati "International Migrants Day". Bagi Indonesia, peringatan ini semestinya menjadi pengingat bahwa migrasi bukan sekadar mobilitas tenaga kerja, melainkan denyut pembangunan yang nyata.
Data penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sepanjang 2024 mencapai 297.471 orang, dengan puncak penempatan terjadi pada Mei 2024 sebanyak 30.118 orang. Kementerian P2MI menyebut remitansi PMI tahun 2024 mencapai Rp251,5 triliun, naik 14 persen dari 2023. Ini adalah sebuah capaian yang menegaskan kontribusi PMI terhadap ketahanan ekonomi keluarga, sekaligus perekonomian nasional.
Akan tetapi, di balik kontribusi itu, risiko dan kerentanan yang dihadapi PMI, terutama perempuan, masih serius. Komnas Perempuan periode 2017–2024 mencatat 1.389 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran, mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, hingga kasus kematian dan pidana mati.
Fakta ini menegaskan bahwa agenda pelindungan tidak boleh berhenti pada narasi "pahlawan devisa", melainkan harus diwujudkan melalui kebijakan yang mampu memberikan keadilan substantif sepanjang siklus migrasi —sebelum berangkat, selama bekerja, hingga pulang.
Ironisnya, ketika kebutuhan pelindungan semakin jelas, keterwakilan politik pekerja migran masih tertinggal. Mereka memang memilih dalam pemilu, tetapi representasinya belum mencerminkan realitas hidup dan persoalan khas warga negara di luar negeri.
Maka, gagasan menghadirkan dapil luar negeri dengan keterwakilan memadai, minimal tiga kursi, bukan hanya penataan administratif pemilu, melainkan penegasan komitmen negara pada representasi, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak konstitusional PMI serta diaspora WNI.
Apalagi tema "International Migrants Day 2025" adalah "My Great Story Cultures and Development", yang menekankan kontribusi migran bagi pembangunan. Kontribusi yang hanya bisa dimaksimalkan bila migrasi dikelola secara aman, tertib, dan bertanggung jawab.
Paradoks
Paradoksnya sederhana, pemilih luar negeri diakui hak pilihnya, tetapi "rumah politiknya" tidak jelas. Dalam UU Pemilu, suara pemilih di luar negeri untuk DPR diakumulasi ke Dapil DKI Jakarta II bersama Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan (Pasal 406 UU Pemilu), sehingga satu dapil harus memikul dua konstituen yang sangat berbeda.
Akibatnya, wakil terpilih kerap dinilai tidak efektif dan cenderung non-representatif, bahkan sebagian WNI di luar negeri pernah bingung, mereka masuk dapil apa dan caleg DPR siapa yang bisa dipilih.
Permasalahan ini pernah diuji di Mahkamah Konstitusi. Dalam risalah sidang Perkara-2/PUU, XI/2013, pemohon meminta agar "luar negeri" diperlakukan sebagai dapil dan dipisahkan dari DKI Jakarta II, dengan dasar, antara lain hak ikut serta dalam pemerintahan (Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945) serta rujukan pada Konvensi Pekerja Migran 1990 yang menegaskan hak pekerja migran untuk memilih dan dipilih.
Hal yang penting dicatat, sekalipun gugatan itu tidak serta-merta "menghasilkan" dapil khusus, tetapi sejatinya konstitusi memberi ruang kebijakan untuk merancang dapil karena UUD NRI 1945 tidak mengatur rinci pembentukan dapil.
Bahkan, Mourita (2019) menunjukkan penggabungan luar negeri ke DKI Jakarta II dinilai mengganggu prinsip-prinsip penyusunan dapil, seperti kohesivitas, integritas wilayah, dan kesetaraan nilai suara, sehingga pembentukan dapil luar negeri dapat dibaca sebagai jalan menuju keadilan elektoral dan proporsionalitas, agar suara warga negara di luar negeri benar-benar punya wakil yang fokus memperjuangkan kepentingan mereka.
Urgensi
Urgensi dapil luar negeri dapat diletakkan pada kebutuhan memperjelas representasi warga negara yang menggunakan hak pilihnya dari luar wilayah Indonesia. Ketika pemilih luar negeri ikut menentukan kursi DPR, tetapi tidak memiliki dapil yang secara eksplisit dirancang untuk mereka, maka hubungan antara hak memilih dan hak untuk diwakili menjadi kurang tegas.
Dapil luar negeri akan menjawab pertanyaan dasar dalam demokrasi perwakilan siapa "konstituen" yang diwakili dan kepada siapa wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan kerja politiknya.
Urgensi berikutnya adalah keterukuran penyerapan aspirasi. WNI di luar negeri menghadapi isu yang khas, seperti akses layanan perwakilan, prosedur administrasi kependudukan, bantuan hukum dan pendampingan kasus, serta tata kelola penempatan dan kepulangan.
Tanpa desain dapil yang khusus, isu-isu ini berpotensi sulit dipetakan sebagai agenda perwakilan yang konsisten karena tidak ada garis mandat elektoral yang secara langsung menautkan wakil tertentu dengan kebutuhan WNI luar negeri sebagai konstituen yang terdefinisi.
Pun, dapil luar negeri penting untuk memperkuat komitmen negara pada pemenuhan hak konstitusional warga negara di mana pun berada, termasuk pekerja migran dan diaspora. Intinya, bukan semata menambah kursi, melainkan menata desain perwakilan agar selaras dengan tujuan pemilu dalam negara demokratis, yakni memastikan setiap warga negara bukan hanya dihitung suaranya, tetapi juga memiliki akses yang wajar pada saluran representasi yang relevan dengan realitas hidupnya.
Jalan implementasi
Agar gagasan dapil luar negeri tidak berhenti sebagai slogan, diskusi berikutnya perlu masuk ke desain kebijakan yang operasional. Paling tidak, ada dua hal yang harus ditentukan secara terang: model pendapilan dan basis pembagian kursi.
Modelnya bisa berupa satu dapil nasional luar negeri, atau dibagi ke beberapa zona kawasan (misalnya Asia-Oseania, Eropa, Timur Tengah-Afrika, Amerika) agar jangkauan representasi lebih realistis.
Basis kursi pun perlu bertumpu pada indikator yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti jumlah pemilih terdaftar, sebaran partisipasi, dan dinamika kependudukan WNI di luar negeri.
Sesudah desain, tantangan yang tak kalah penting adalah mekanisme kerja perwakilan. Dapil luar negeri baru bermakna jika ada standar minimum praktik representasi: kanal serap aspirasi yang mudah diakses lintas negara, pelaporan kerja yang teratur, dan agenda legislasi serta pengawasan yang relevan dengan isu warga negara di luar negeri.
Tanpa tata kelola semacam itu, dapil baru berisiko hanya memindahkan persoalan dari "tidak ada wakil" menjadi "ada wakil, tetapi tidak terbaca kinerjanya".
Terakhir, jalur implementasi harus ditempatkan sebagai bagian dari reformasi kepemiluan yang terukur. Perubahan dapil membutuhkan kerja legislasi yang rapi, sinkron dengan regulasi teknis penyelenggara pemilu, serta kesiapan administratif di luar negeri agar tidak menambah kerumitan bagi pemilih.
Dengan menyiapkan desain, mekanisme kerja, dan langkah implementasi yang jelas, wacana dapil luar negeri bisa bergerak dari ide normatif menjadi kebijakan yang benar-benar dapat diuji dampaknya, bukan hanya diperdebatkan setiap musim pemilu.
*) Raihan Muhammad adalah pegiat HAM, pemerhati politik dan hukum
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keadilan substantif bagi pekerja migran Indonesia
