Unfpa: pendidikan rendah dorong meningkatnya kehamilan remaja

id kehamilan

Unfpa: pendidikan rendah dorong meningkatnya kehamilan remaja

Ilustrasi (Istimewa)

Yogyakarta (Antara Jogja) - United Nations Population Fund menilai bahwa di setiap wilayah dunia anak perempuan dengan pendidikan rendan dan tinggal di daerah terpencil, lebih cenderung untuk hamil dibanding remaja lain berpendidikan layak.

"Karena itu, pendidikan perlu diprioritaskan untuk menekan masih tingginya angka kehamilan pada usia remaja, yang belakangan banyak terjadi di negara-negara berkembang," kata perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA) untuk Indonesia, Jose Ferraris dalam penyampaian Laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWOP) di Yogyakarta, Jumat.

Ia mengatakan menjaga remaja untuk tetap mengenyam bangku sekolah merupakan strategi yang paling utama guna menekan angka kehamilan pada usia belia.

Menurut Ferraris, pendidikan dianggap penting karena berpotensi efektif menurunkan tingginya angka pernikahan remaja, menunda kehamilan, dan akhirnya mengarah pada proses kelahiran yang sehat.

Ia menyebutkan sesuai data yang dihimpun UNFPA, setiap hari tercatat sebanyak 20.000 anak perempuan di bawah usia 18 tahun melahirkan di negara-negara berkembang.

Sementara itu, kata dia, dua juta dari 7,3 juta perempuan berusia di bawah 15 tahun menjadi ibu remaja setiap tahunnya.

"Apabila hal itu terus dibiarkan, maka diperkirakan jumlah kelahiran dari ibu berusia di bawah 15 tahun akan meningkat menjadi tiga juta per tahun pada 2030," katanya.

Menurut dia, kehamilan pada usia remaja juga merupakan sebab dan akibat dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kehamilan dapat memperkecil peluang seseorang untuk menikmati haknya atas pendidikan, kesehatan dan kemandirian.

"Kehamilan remaja memiliki dampak yang sangat serius terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan jangka panjang para remaja perempuan," katanya.

Bahkan, lanjut dia, setiap tahun sebanyak 70.000 perempuan remaja meninggal karena komplikasi yang dialami selama kehamilan dan melahirkan.

Menurut dia, selain faktor pendidikan formal, akses untuk mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi juga masih minim diperoleh para remaja perempuan.

"Mereka banyak yang tidak faham tentang kesehatan reproduksi. Akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi juga dipersulit, dan sering dianggap tabu bagi mereka," katanya.

(KR-LQH)