Yogyakarta (ANTARA) - Forum Lintas Komunitas Malioboro melalui “Merti Malioboro” menguatkan komitmen mereka untuk bersama-sama menjaga kawasan tujuan wisata utama di Yogyakarta tersebut sebagai kawasan yang tetap nyaman, aman dan kondusif.
“Merti memiliki arti bersyukur. Harapannya, melalui kegiatan ini, Malioboro akan menjadi lebih baik, tertata. Pada prinsipnya pun, kami selalu mendukung program pemerintah untuk penataan. Yang penting, kami tetap menjadi bagian dari Malioboro,” kata Ketua Forum Lintas Komunitas Malioboro Edy Susanto di Yogyakarta, Selasa.
Dalam kegiatan tersebut, komunitas yang ada di Malioboro masing-masing membawa setidaknya satu buah tumpeng. Seluruh anggota komunitas pun kompak mengenakan busana tradisional Yogyakarta saat mengikuti “Merti Malioboro”.
Salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro yang mengikuti kegiatan tersebut, Suparno Seto mengatakan, tumpeng memiliki makna filosofis yang cukup dalam dan bisa menjadi gambaran kondisi di Malioboro.
“Tumpeng terbuat dari nasi. Jika hanya ada satu butir, maka tidak akan kuat. Tetapi karena disatukan bersama-sama menjadi kuat,” katanya.
Begitu pula dengan dengan berbagai sayuran dan lauk pauk yang selalu menyertai tumpeng juga menjadi gambaran akan beragamnya komunitas yang ada di Malioboro.
“Ada banyak komunitas dengan beragam latar berlakang. Semuanya bersatu dan bersama-sama berkomitmen menjaga kondisi Malioboro agar tetap nyaman, aman dan kondusif. Apalagi saat ini tahun politik. Harapannya, seluruh komunitas bisa saling menghargai dan menjaga agar Malioboro tetap kondusif,” katanya.
Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang hadir dalam kegiatan tersebut berharap agar kegiatan Merti Malioboro bisa diagendakan secara rutin setiap tahun sekali.
“Malioboro harus dijaga, harus dirawat. Apalagi, kawasan ini terus ditata. Seluruh komunitas menjaga kerukunan, menjaga persaudaraan, kebersihan, ketertiban dan keamanan. Saya bersyukur, komunitas memiliki inisiatif seperti ini,” katanya.
Ia pun mengapresiasi kegiatan tersebut karena seluruh biaya merupakan swadaya dari komunitas di Malioboro bahkan Pemerintah Kota Yogyakarta sama sekali tidak mengeluarkan dana sepeserpun. “Justru saya ikut makan di sini,” kata Haryadi.
Setelah didoakan, sekitar 80 tumpeng yang dibawa komunitas kemudian dibagi-bagikan kembali ke komunitas atau ke wisatawan yang sedang berkunjung ke Malioboro.