Jakarta (ANTARA) - Kisah dimulai saat Hassan Munas (Hairul Azreen) pulang ke kampung halamannya setelah beberapa tahun ia meninggalkan keluarganya demi gabung militer.
Keputusan Hassan untuk mengabdi sebagai tentara didasari oleh keinginannya untuk mengatasi ‘iblis’ dalam dirinya dan menjauh sejenak dari ketidakadilan yang dialami keluarga dan komunitasnya.
Daerah tempat tinggal Hassan sendiri sejak dulu dikuasai dan ditindas oleh pemilik pabrik dan mafia bernama Raja (Dain Said).
Bertahun-tahun berlalu, rupanya keadaan di kampung halamannya masih sama. Hassan bertekad untuk menghapuskan penindasan dari Raja bersama adik perempuannya, Zain (Fifi Azmi).
Baca juga: Sutradara Malaysia terinspirasib"The Raid" hingga "Wiro Sableng"
Ada dua pilihan agar mereka aman, mengikuti pertandingan MMA sebagai cara untuk mengalahkan dominasi Raja, atau memilih untuk meninggalkan daerahnya untuk menghindari ancaman-ancaman dari Raja.
Kedua pilihan itu mempunyai konsekuensi masing-masing. Apabila mereka bertarung, maka perlu usaha keras karena anak-anak buah Raja, termasuk Vee (Ismi Melinda) dan Ifrit (Yayan Ruhian) memiliki kemampuan beladiri yang hebat.
Lebih mudah bagi keduanya untuk menghindar dan pergi, namun mereka akan kehilangan semua yang telah mereka bangun, termasuk harga diri.
Ketegangan segera dibangun di awal film dan berhasil menimbulkan rasa "tak nyaman" bagi penonton. Emosi mendebarkan yang dibangun sejak awal film terus dihidupkan dari adegan satu ke yang lain dengan runut.
Pengambilan gambar yang mendukung jalannya cerita pun cukup variatif di film ini. Terdapat sebuah adegan yang diambil dengan teknik pengambilan gambar secara one-shot - dimana adegan demi adegan terus bersambung tanpa adanya pemotongan gambar (cut).
Baca juga: Djenar Maesa Ayu: skenario film "Mangkujiwo" menyerupai prosa
Penggunaan teknik ini bisa dibilang selain menghasilkan visual yang cantik, juga mampu menggugah keikutsertaan penonton dan merasakan sebuah pengalaman di adegan tersebut.
Variasi gambar di film ini mampu menampilkan detail yang cukup baik, terutama di adegan-adegan laga yang turut diarahkan oleh Yayan Ruihan.
Aneka bela diri yang disuguhkan di depan layar bisa dibilang memuaskan penonton yang menyukai film dengan porsi aksi lebih banyak seperti "Wira" ini.
Visual pun juga dikemas dengan pemilihan palet warna bernuansa biru, abu-abu, dan hitam -- yang selain menampilkan imaji yang suram dan dingin, juga secara tak langsung menggugah rasa "gugup" dan tegang bagi audiens.
Tak hanya berfokus pada sisi teknis pengambilan gambar dan pengadeganan laga, sutradara muda asal Malaysia Adrian Teh yang mengarahkan gambar dan cerita dalam film ini pun mampu mengajak untuk mengenal tokoh-tokoh dan latar belakang mereka secara perlahan, atau bahkan bisa dibilang implisit.
Kepiawaian Teh dalam menyajikan naskah ke bentuk film laga bisa dibilang cukup menggugah cara pandang dan perasaan penonton - apalagi film ini memang lebih mengedepankan aksi ketimbang cerita.
Baca juga: Film "Satria Dewa GatotKaca" segera umumkan para pemain
Penokohan yang begitu kuat dari seluruh aktor utama yang terlibat dalam film ini, menimbulkan rasa yang campur-aduk, yang seakan ingin penonton ikut bagi.
Dengan premis cerita sederhana, bisa menjadi lebih kompleks dan rumit bagi tiap-tiap tokoh karena tiap pilihan memiliki risiko dan bahaya yang mengintai.
Adegan demi adegan pun dijahit dengan rapi dan mampu menunjukkan akting yang tulus dan jujur dari para pemainnya.
Khususnya penampilan kedua lakon utama, yakni Hairul Azreen dan Fifi Azmi sebagai kakak-beradik dengan dinamika emosi yang naik-turun, mampu menggugah banyak perasaan penonton, mulai dari aksi mendebarkan hingga rasa haru dari pengorbanan dan pilihan mereka masing-masing.
Keduanya juga membuktikan kepiawaiannya di adegan fist fighting - yang rupanya tak menggunakan pemain pengganti (stuntman).
Menurut Teh, pilihan untuk seluruh adegan termasuk fighting yang sepenuhnya dilakoni oleh aktor terlibat merupakan nilai plus lantaran memberikan kepuasan dan pengalaman penuh bagi pembuat, pemeran, hingga penonton film.
Dain Said yang berperan sebagai Raja - si tokoh antagonis juga cukup berhasil membuat penonton merasa "gemas" dan berpikir bagaimana kedua saudara ini mampu mengalahkan si "raja" ini.
Baca juga: Film "Vanguard", buktikan Jackie Chan masih "menggigit"
Kehadiran wajah-wajah familier pemain film Indonesia yakni Ismi Melinda dan Yayan Ruhian juga menjadi kejutan yang menyenangkan.
Ismi yang bisa dibilang cukup baru untuk berakting di film layar lebar, khususnya di film aksi, juga tampil cantik dan kuat, walaupun cukup disayangkan karakternya kurang tereksplorasi.
Sementara Yayan Ruhian yang bukanlah nama asing di dunia film aksi Indonesia, mampu beradu akting dengan lawan mainnya, Hairul Azreen dengan profesional dan sangat mendebarkan.
Secara keseluruhan, "Wira" merupakan film dengan porsi aksi yang lebih banyak daripada cerita, sehingga mudah dinikmati bagi penyuka film berjenis aksi yang cukup brutal, menegangkan namun juga menyenangkan dengan adanya sentuhan humor ringan di dalamnya.
Film berdurasi 99 menit dengan rating 17+ itu tayang di jaringan bioskop CGV Indonesia mulai Kamis (30/1).
"Wira", film kolaborasi Malaysia-Indonesia yang penuh aksi mendebarkan
Aneka bela diri yang disuguhkan di depan layar bisa dibilang memuaskan penonton yang menyukai film dengan porsi aksi lebih banyak seperti "Wira" ini.