Jakarta (ANTARA) - Sosok Kartini dalam dunia perfilman Indonesia memang lebih banyak diwakili oleh sutradara dan produser perempuan, namun bukan berarti tak ada aktris yang memiliki semangat Kartini.
Indonesia memiliki banyak aktris berbakat, namun hanya beberapa yang dianggap berkarakter. Kekuatan ini dilihat dari sikap serta kemampuannya dalam mempengaruhi lingkungan sekitar dan menginspirasi banyak orang.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengungkap bahwa Dian Sastrowardoyo memiliki jiwa Kartini. Ia tak hanya berprofesi sebagai aktris namun juga melebarkan sayapnya sebagai produser film "Guru-Guru Gokil".
Baca juga: Yuni Shara ajak perempuan berbagi sambut Hari Kartini
Dian juga memiliki sebuah yayasan, aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan dan juga kerap mengkampanyekan isu-isu tentang perempuan.
Selain itu, nama Ladya Cheryl atau rekan Dian dalam film "Ada Apa dengan Cinta" (AADC) dianggap oleh Hikmat sebagai seorang aktris yang memiliki pendirian kuat. Di saat karirnya sedang menanjak, ia menarik diri dari hadapan media namun tetap berkecimpung di dunia film.
"Dia kan bisa menolak untuk 'AADC 2' terus kemudian tokohnya dimatiin. Tapi dia betah-betah aja, terus belajar film. Di Amerika dia belajar sebagai sutradara dan di dunia perfilman juga, dia salah satu sosok yang pribadinya kuat tapi tidak terlalu mengeksploitasi kehadirannya di media. Buat saya dia Kartini juga sebagai pengemban emansipasi," ujar Hikmat kepada Antara, Minggu (19/4).
Jessica Milla
Hikmat juga memperhitungkan nama Jessica Milla yang nantinya dianggap bisa menjadi sosok aktris "Kartini" di masa yang akan datang.
Keberanian Jessica mengambil peran di film "Imperfect" dan membiarkan bobot tubuhnya bertambah, merupakan sebuah kesadaran akan pentingnya membicarakan tubuh perempuan.
"Dia bisa membicarakan obyektifikasi tubuh perempuan jadi dia hadir di isu itu dengan sebuah daya gugat, tentu dengan kerja sama dari Ernest penting juga tapi bahwa dia willing to go all the way penting juga, dia calon lah," jelas Hikmat.
Baca juga: Sosok Kartini dalam perfilman Indonesia
Sementara itu, Hikmat mengatakan bahwa beberapa produser film masih menggunakan gaya lama yakni menjadikan perempuan sebagai obyek seksual belaka.
Menariknya, aktris yang berperan dalam film tersebut secara sadar menggunakan aset tubuhnya untuk industri dan berani menawar dengan harga yang tinggi.
"Di tahun 2000-an di luar negeri, bintang porno bisa jadi feminis karena buat dia tubuhku adalah otoritasku. Dia punya pilihan sebagai individu, sebagai pribadi untuk masuk ke kancah eksploitasi seksual konten," kata Hikmat.
"Memang itu menjadi perdebatan...mereka banyak yang enggak powerfull (akting) cuma jadi boneka, tapi justru nama-nama itu kita tahu kan, dia powerfull bisa menetapkan honornya sendiri dan mahal," lanjutnya.