Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan belum ada obat spesifik untuk COVID-19, walaupun saat ini telah dipergunakan beberapa obat dalam status obat uji, antara lain klorokuin dan hidroksiklorokuin.
"Berita terkait dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat COVID-19 di Amerika Serikat dan di Inggris masih didasarkan pada penelitian yang sedang berlangsung," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan berita terkait dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat COVID-19 di Amerika Serikat dan di Inggris masih didasarkan pada penelitian yang sedang berlangsung.
Akan tetapi, di negara lain, termasuk Indonesia, kata dia, obat tersebut masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien COVID-19.
"Hal ini sejalan dengan persetujuan penggunaan terbatas saat darurat dari BPOM yang dikeluarkan pada bulan April 2020, di mana diutamakan pada pasien dewasa dan remaja yang memiliki berat 50 kilogram atau lebih yang dirawat di rumah sakit," katanya.
Penny mengatakan penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 yang sedang berlangsung di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil sementara tidak meningkatkan risiko kematian dibandingkan pengobatan standar penderita tertular SARS-CoV-2.
"Walaupun menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya," kata dia.
Dia mengatakan penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin dapat mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit pada pasien COVID-19.
"Penggunaan kedua obat ini harus tetap merujuk pada informasi kehati-hatian tentang adanya risiko gangguan jantung pada penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin," katanya.
Penny mengatakan prosedur penggunaan obat-obatan itu sebagaimana tercantum pada Informatorium Obat COVID-19 di Indonesia yang diterbitkan BPOM. Penggunaannya juga mengacu Protokol Tatalaksana COVID-19 yang diterbitkan bulan April 2020 yang diterbitkan lima asosiasi profesi (PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI dan PERDATIN).
Oleh karena itu, kata dia, penggunaan obat tersebut harus dalam pengawasan ketat oleh dokter dan dilaksanakan di rumah sakit.
"BPOM terus memantau dan menindaklanjuti isu ini serta melakukan pembaruan informasi dengan berkomunikasi dengan profesi kesehatan terkait berdasarkan data monitoring efek samping obat di Indonesia, informasi dari WHO dan badan otoritas obat negara lain," katanya.