Yogyakarta (ANTARA) - Asal-usul prajurit Keraton Yogyakarta diungkap dalam Bincang Budaya "Menggaungkan Kembali yang Punah" dengan tema "Prajurit Keraton Ngayogyakarta, Bagaimana Melanjutkan Pelestarian dan Pengembangannya"
Bincang Budaya yang digelar Indonesiagaya di Ndalem Yudhanegaran Yogyakarta, Sabtu, menghadirkan dua narasumber dari Keraton Yogyakarta, yakni GBPH Yudhaningrat dan KRT Jatiningrat.
GBPH Yudhaningrat, yang lama menjadi Manggala Yudha atau Kepala Prajurit Keraton Yogyakarta, menceritakan perjalanan terciptanya keprajuritan sejak era Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Menurut Gusti Yudha, keraton membangun tata kota dengan kampung-kampung di mana batalyon atau regu prajurit keraton tinggal. Di luar itu, ada kampung-kampung perdesaan dan yang paling ujung untuk menghadapi musuh adalah Masjid Pathok Negara yang dipimpin penghulu keraton.
"Pondok itu diisi santri sebanyak mungkin yang dipimpin oleh penghulu Pathok Negara dan kiai untuk bertani, termasuk menjaga keamanan. Kalau Belanda masuk Yogyakarta sebelumnya harus kenalan dengan santri yang dipimpin ulama setempat. Kalau ada musuh, yang mengawali filter adalah pondok setiap Masjid Pathok Negara," katanya.
Di Keraton Yogyakarta, menurut Gusti Yudha, ada Prajurit Bugis dan Daeng yang awalnya adalah para pedagang di Tanah Jawa yang memutuskan menetap di wilayah Mataram. Keraton Yogyakarta memiliki 10 bregada dengan 8 di bawah keraton langsung dan 2 diberi tugas khusus.
Pada era Sri Sultan HB IX, prajurit keraton mengalami pergeseran fungsi karena desakan dari Belanda. Menurut Gusti Yudha, para prajurit sudah diminta Sri Sultan HB I untuk mempelajari budaya adiluhung sejak awal berdirinya Keraton Yogyakarta.
"Prajurit keraton tugas paling pokok melanjutkan dan melestarikan Keraton Yogyakarta. Mereka tidak berperang namun untuk acara budaya, keagamaan, seperti Grebeg yang dilaksanakan keraton. Acara adat lain misalnya perkawinan agung ada perintah Sultan untuk melaksanakan. Namun, prajurit keraton tetap melaksanakan tugas, menjaga keamanan dan ketertiban di keraton juga membantu abdi dalem," katanya.
KRT Jatiningrat menambahkan bahwa pada periode 1945 hingga 1970 prajurit Keraton Yogyakarta sempat mengubah bentuk karena kebijakan Sri Sultan HB IX untuk memastikan kelanjutan keprajuritan.
"Fungsi perang diubah menjadi upacara yang akhirnya juga mengubah pakaian para prajurit lebih berwarna seperti yang dikenal saat ini," kata Jatiningrat.
Sementara itu, Pendiri Indonesiagaya Gayatri Wibisono mengatakan bahwa pihaknya memiliki perhatian pada kerajinan, alam, dan budaya yang menjadi unsur penting di Indonesia.
"Salah satunya hari ini kami melakukan bincang budaya untuk mendapat wacana informasi budaya khususnya di Yogyakarta. Ketika sesuatu dibicarakan, menarik, maka harapannya tidak menjadi punah," kata Gayatri.