Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai upaya untuk melindungi konsumen digital masih perlu ditingkatkan, salah satunya dengan merevisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen.
Pasalnya, UU Perlindungan Konsumen berlaku pada April 2000, beberapa dekade sebelum transaksi digital mulai berkembang pesat.
“Upaya preventif melalui edukasi konsumen dan literasi keuangan yang lebih baik juga diperlukan untuk memastikan perlindungan konsumen, yang saat ini terutama diatur oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur hak dan kewajiban konsumen dan penjual,” kata Media Relations Manager CIPS Vera Ismainy dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.
Pada 2021, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan terhadap industri jasa keuangan mencapai 49,6 persen dari seluruh pengaduan yang diterima. Sekitar 22 persen di antaranya terkait dengan perusahaan pemberi pinjaman peer-to-peer (P2P) ilegal.
E-commerce mengikuti di tempat kedua dengan 17,2 persen keluhan, sebagian besar terkait pengiriman, konsumen gagal menerima produk yang mereka pesan, dan kualitas produk.
Meskipun pemerintah telah melakukan upaya untuk memperbarui peraturan untuk memenuhi jaringan ekonomi digital, Vera mengatakan perbaikan yang signifikan masih diperlukan untuk menegakkan peraturan secara efektif.
Pada Mei 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperbarui ketentuan tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan baru yang menggantikan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 ini memuat kewajiban keterbukaan dan transparansi terkait layanan dan informasi produk, serta penyempurnaan persyaratan terkait perlindungan data dan informasi konsumen.