Kulon Progo (Atara Jogja) - Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kulon Progo Heri Purnomo menilai perajin batik di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah yang berdampak pada pencemaran lingkungan.
Heri Purnomo di Kulon Progo, Senin, mengatakan sebagian besar perajin batik menggunakan zat berbahaya seperti HCL dan nitrit.
"Perajin batik jarang menggunakan pewarna alami atau indigo. Mereka kebanyakan menggunakan zat kima seperti Hcl dan nitrit yang membuat warna-warna cerah, sehingga berdampak pada pencemaran lingkungan," kata Heri.
Dia mengatakan, KLH Kulon Progo mengimbau kepada perajin menggunakan warna-warna alam yang ramah lingkungan. Industri batik di Kulon Progo sedang mengalami proses kemajuan dengan adanya program "glebleg renteng". Namun yang keprihatinan bersama yakni pencemaran libah cair sisa perwarnaan batik.
Oleh karena itu, dia mengatakan, perajin harus mengelola limbah cair dengan membangun instalasi pengolahan air limbah, supaya zat-zat berbahaya sisa pewarnaan tidak berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar.
"Limbah cair yang berbahaya dari sisa-sisa perwarnaan perajin batik, hanya dibuang di sungai dan aliran irigasi terdekat seperti Sunga Rowo Jembangan. Dampaknya, ada beberapa warga yang mengalami iritasi kulit," katanya.
Ketua Asosiasi Pengrajin Batik Kulon Progo, Umbuk Haryanto mengatakan perajin batik tidak membuang limbah di sungai.
Menurut dia, pengolahan batik dilakukan di rumah sehingga dipastikan tidak ada limbah yang mengotori sungai.
"Kami sudah mengelola limbah batik secara mandiri sesuai dengan petunjuk dan arahan dari KLH," katanya.
Dia mengatakan, asosiasi batik sudah mengajukan permohonan bantuan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL)yang bersifat komunal.
Sebelumnya, sekitar 10 warga Dusun Mendiro, Gulurejo, Lendah terserang gatal-gatal di sekujur tubuhnya ketika bersentuhan dengan air sungai. Kepala Desa Gulurejo, Muh Mardi langsung merespon dengan mengirimkan surat ke kecamatan.
(KR-STR)