Sosiolog: kekerasan remaja muncul karena pengaruh lingkungan

id kekerasan pelajar

Sosiolog: kekerasan remaja muncul karena pengaruh lingkungan

Ilustrasi (istimewa)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Kekerasan remaja muncul karena pengaruh lingkungan sosial yang salah, kata sosiolog kriminalitas Universitas Gadjah Mada Soeprapto.

"Ada pengaruh kuat dari kelompok sepermainan atau `peer group` ke arah perilaku kekerasan," kata Soeprapto, di Yogyakarta, Kamis (15/12).

Menurut dia, fenomena "klithih" atau kekerasan di jalanan yang dilakukan sekelompok remaja seperti terjadi di Bantul disebabkan adanya pengaruh dari motor penggerak seperti kakak kelas, serta alumni.

"Untuk menunjukkan eksistensi diri agar keberadaannya diakui. Ada juga yang memang memanfaatkan keadaan psikologis remaja yang sedang berada dalam masa transisi biologis dan sosial," kata dia.

Selain faktor lingkungan, menurut dia, keputusan untuk melakukan tindakan kekerasan itu muncul disebabkan kurangnya penanaman nilai budaya dan norma sosial. Akibatnya, mereka tidak dapat membedakan perilaku yang baik dan perilaku yang buruk dan harus dihindari.

"Penanaman nilai-nilai keagamaan juga hanya sampai pada sosialisasi, belum sampai ke internalisasi atau penghayatan," kata dia.

Menurut Soeprapto, rata-rata seseorang yang gemar melakukan kekerasan memiliki keualitas kecerdasan emosional (EQ) hanya pada level pertama yakni memahami diri sendiri, belum sampai level kedua mampu mengendalikan diri. Apalagi level tiga, memahami orang lain, dan level empat, mengendalikan orang lain.

"Mereka ini bukan mengendalikan orang lain malah ikut terpengaruh orang lain," kata dia.

Dengan demikian, ia mengatakan kunci pertama untuk membenahi akar kasus kekerasan yang dilakukan remaja yang dipengaruhi lingkungan adalah memperkuat pendidikan keluarga. Orang tua harus secara rutin melakukan pengawasan dan memberikan arahan kepada anaknya.

"Interaksi pertama yang dijalin anak setelah lahir adalah interaksi dengan ibunya kemudian ayah, dan saudara-saudaranya, jadi pendidikan keluarga harus diperkuat," kata dia.

Guru sekolah, kata dia, juga harus proaktif berperan memetakan persoalan murid-muridnya disertai penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

"Mereka merasa sanksi hukum yang ada tidak akan menjerat mereka karena merasa dilindungi oleh konsep hak anak. Apalagi jika ada pihak yang keberatan jika anak diberi sanksi hukuman penjara," kata dia.

Sebelumnya, pada Senin (12/12) malam, terjadi kasus pembacokan yang dilakukan segerombolan remaja terhadap sekelompok remaja lainnya yang merupakan siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta yang sedang berkendara di Jalan Imogiri-Panggang, Imogiri, Bantul.

Akibat peristiwa itu, enam dari 10 siswa SMA Muhammadiyah 1 tersebut mengalami luka bacok senjata tajam. Satu di antaranya Adnan Wirawan (15)akhirnya meninggal dunia karena mengalami luka serius.

(T.L007)