UGM: belum banyak pengimplementasian cetak biru persusuan

id UGM: belum banyak pengimplementasian cetak biru persusuan

UGM: belum banyak pengimplementasian cetak biru persusuan

Kuliah umum dari Fonterra New Zealand di Aula Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta, Kamis (24/8) (Foto Antara/ Budi Santoso)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Cetak biru persusuan yang disusun  pada Februari 2014 belum banyak diimplementasikan sehingga mengganggu pencapaian swasembada 60 persen kebutuhan susu tahun 2025, kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada Prof Dr Tridjoko Wisnu Murti DEA.

"Ini butuh keseriusan pemerintah untuk mengimplementasikan rencana aksi pada cetak biru. Programnya harus fokus," katanya usai kuliah umum dari Fonterra New Zealand di Aula Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta, Kamis.

Ia mengatakan, semua upaya sudah dilakukan perguruan tinggi untuk mengawal swasembada susu namun perlu program yang fokus untuk meningkatkan produksi susu peternak.

"Program peningkatan kapasitas SDM peternak sudah harus diperbanyak, apalagi bicara susu di Indonesia tidak hanya sapi, tetapi ada susu kambing, kerbau, dan kuda," katanya.

Ia yakin kalau semua potensi tersebut dikembangkan, Indonesia bisa menghasilkan susu sekitar 9 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan industri pengolahan susu khusus sapi perah saja sekitar 3,3 juta ton per tahun.

Beberapa rencana aksi dari cetak biru itu antara lain pertama, regulasi untuk mendorong serapan pasar produksi susu dalam negeri sebagai pengganti Inpres 4 Tahun 1998.

Kedua  mendorong terbitnya regulasi School Milk Program untuk menjamin pasar bagi peternak rakyat yang memproduksi susu sekaligus meningkatkan konsumsi susu nasional.

Ia menilai, saat ini perkembangan peternakan kambing perah lebih banyak diinisiasi masyarakat karena harga jual susu kambing yang masih tinggi.

Terkait sapi perah, dia mengatakan, perlunya kemampuan peternak mengolah susu sendiri dan mempunyai pasar sendiri sehingga mereka menikmati nilai tambahnya.

"Di Yogyakarta, peternak sapi perah sudah mempunyai pasar sendiri, sehingga harganya cukup tinggi, yaitu Rp7.000  per liter," katanya yang juga mendisain alat pasteurisasi skala rumah tangga.

Yang diperlukan peternak sapi perah adalah kemudahan perizinan sehingga mereka tidak takut lagi memasarkan olahan susu segar mereka.

Sebelumnya, GM Program Komunitas Fonterra New Zealand Chris Ward pada kuliah umum dihadapan sekitar 100 mahasiswa mengatakan bahwa usaha peternakan rakyat di New Zealand pada 100 tahun lalu masih tradisional.

"Keadaannya mirip usaha peternakan rakyat di Indonesia," kata Chris yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun dalam kepemimpinan dan manajemen program pemberdayaan komunitas.

Semula ada 400 kelompok peternak, tetapi kemudian sepakat meleburkan diri pada Koperasi Fonterra sehingga mampu membangun industri pengolahan sendiri dengan sistem distribusi susu segar yang mampu menjaga kualitas susu segar.

Saat ini industri pengolahan susu Fonterra dimiliki oleh lebih dari 10.500 peternak di Selandia Baru yang memasok lebih dari 14 miliar liter susu setiap tahunnya.


(T.B013)