Serbuan Kota Baru sejarah yang nyaris terlupakan

id kotabaru yogyakarta

Serbuan Kota Baru sejarah yang nyaris terlupakan

ilustrasi Monumen Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta (ANTARA FOTO)

Yogyakarta (Antaranews Jogja) - Hampir semua orang mengenal peristiwa bersejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 dan peristiwa Jogja Kembali 29 Juni 1949, namun belum banyak yang mampu mengingat satu peristiwa bersejarah yang justru terjadi jauh sebelum 1949 yaitu Serbuan Kotabaru.

“Peristiwa Serbuan Kotabaru yang terjadi pada 7 Oktober 1945 memang perlu dipublikasikan lebih gencar lagi agar ada semakin banyak orang yang mengetahui dan mengingatnya. Sebelum bergabung untuk membantu peringatan peristiwa ini, saya pun sempat tidak mengetahuinya,” kata Sekretaris Dewan Harian Cabang Badan Penerus Pembudayaan Kejuangan 45 Kota Yogyakarta Soedjono di Yogyakarta, Kamis.

Berdasarkan catatan sejarah, Serbuan Kotabaru adalah gerakan bersenjata pertama yang dilakukan oleh rakyat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan. Serbuan tersebut ditujukan untuk merebut senjata dari tangan pasukan Jepang yang masih bertahan di Yogyakarta.

Ibarat pembuka jalan, Serbuan Kotabaru mempelopori munculnya gerakan bersenjata di daerah lain untuk mengusir penjajah dari Indonesia dan bahkan berkembang menjadi perjuangan diplomatik untuk menegakkan dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Serbuan Kotabaru terjadi akibat keresahan rakyat Yogyakarta yang merasa kedaulatan NKRI di DIY belum tercapai penuh karena masih ada pasukan Jepang dengan persenjataan lengkap.

Rakyat Yogyakarta yang sudah menyatakan bergabung dengan NKRI pun merasa perlu melakukan pemindahan kekuasaan dari Jepang. Berbagai upaya untuk peralihan kekuasaan dilakukan, mulai dari pengibaran bendera Merah Putih di sepanjang Jalan Malioboro hingga Kotabaru, serta upaya damai dengan perundingan agar Jepang menyerahkan senjata.

Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil sehingga rakyat pun memutuskan untuk menggunakan cara kekerasan guna merampas senjata dari pasukan Jepang. Meski diancam, Jepang memilih tidak menyerahkan senjata karena belum memperoleh izin dari Jenderal Nakamura yang bermarkas di Magelang.

Atas kondisi tersebut, keadaan di sekitar markas tentara Jepang yang berada di Kotabaru semakin genting. Rakyat yang tidak sabar dan tidak ingin terjebak dalam strategi licik Jepang dengan mengulur-ulur waktu kemudian memutuskan untuk melakukan penyerbuan ke markas tentara Jepang.

Letusan granat ke markas tentara Jepang menjadi penanda dimulainya serbuan. Serangan yang terjadi sejak subuh itu pun berlangsung sengit karena Jepang yang memiliki persenjataan lengkap melakukan perlawanan. Meskipun demikian, rakyat Indonesia dapat memenangi pertarungan tersebut setelah tentara Jepang menyerah dan menyerahkan senjata.

Kedua belah pihak harus kehilangan banyak pasukan akibat serangan yang berlangsung sengit. Indonesia kehilangan 21 pejuang, sedangkan di pihak lawan, 27 tentara tewas.

Pejuang Indonesia yang tewas dalam serangan tersebut adalah Trimo, Djoewadi, Faridan M Noto, Soeparno, Soenardjo, Mohammad Saleh, Djasman, Djohar Noerhadi, Bagong Ngadikan, Sabirin, Amat Djazuli, Oemoem Kalipan, Atmosukarto, Sudjijono, I Dewa Nyoman Oka, Sarwoko, Soebarman, Mohammad Wardani, Soeroto, Aboebakar Ali dan Soepadi.

Sebanyak 17 jenazah pejuang yang gugur dalam serangan tersebut kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, dan empat lainnya dimakamkan di sejumlah tempat berbeda yaitu di belakang Masjid Besar Kauman, di Makam Gajah Glagah Sari dan di Jabung Kabupaten Sleman.

Untuk mengenang jasa pejuang yang sudah mengorbankan nyama dalam pertempuran tersebut, sebagian dari nama-nama pejuang diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Kotabaru Yogyakarta.

Soedjono mengatakan, ketiga peristiwa bersejarah yang terjadi di Kota Yogyakarta tersebut dapat menguatkan predikat Yogyaarta sebagai kota perjuangan karena ketiganya sangat penting dalam rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

“Jika peristiwa Serbuan Kotabaru ini kurang dikenal, mungkin disebabkan tidak ada kelompok yang melakukan peringatan secara rutin. Berbeda dengan peringatan Serangan Umum 1 Maret dan Jogja Kembali yang rutin digelar oleh Paguyuban Wehrkreis atau keluarga pejuang. Kelompok yang menyelenggarakan peringatan cukup jelas yaitu keluarga pejuang.” katanya.

Sedangkan peristiwa Serbuan Kotabaru, lanjut dia, belakangan baru diperingati oleh Angkatan 45 dengan cakupan keanggotaan yang lebih beragam.

Sementara itu, Ketua Panitia Peringatan Serbuan Kotabaru 2018 Bagus Sumbarja mengatakan, berusaha agar peringatan peristiwa bersejarah tersebut dapat digelar lebih meriah pada tahun ini, salah satunya dengan menggelar pertunjukan wayang kulit pada akhir September, bertempat di lapangan Asrama Korem 072 yang dulu menjadi markas tentara Jepang.

Sejumlah kegiatan juga akan digelar di antaranya kerja bakti membersihkan lokasi upacara bersama warga pada Sabtu (6/10), upacara peringatan pada Minggu (7/10) serta ziarah ke makam pejuang pada Senin (8/10).

“Kami juga berencana membuat semacam relief terkait peristiwa serbuan Kotabaru tersebut. Saat ini, sudah ada monumen serbuan Kotabaru yang berada di lapangan Asrama Korem 072,” kata Bagus.

Berbagai rangkaian acara tersebut diharapkan dapat mengingatkan seluruh masyarakat tentang peristiwa bersejarah di Yogyakarta. “Tanpa perjuangan tersebut, mungkin Yogyakarta atau Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Harapannya, generasi muda bisa memahami jerih payah para pejuang untuk diteladani pada masa sekarang,” katanya.

Bagus pun berkeinginan agar tiga peristiwa bersejarah di Yogyakarta tersebut dapat dimasukkan sebagai peringatan berskala nasional.

“Kebetulan, peristiwa serbuan Kotabaru ini terjadi di Kotabaru yang kini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Nilai-nilai historis ini juga memiliki kekuatan untuk penguatan Kotabaru sebagai penyangga keistimewaan sekaligus untuk wisata sejarah,” katanya.

Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024