ADAPTASI atasi kecemasan orang tua dan anak saat PTM

id pembelajaran tatap muka

ADAPTASI atasi kecemasan orang tua dan anak saat PTM

Ilustrasi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah. (Foto oleh Norma Mortenson dari Pexels)

Jakarta (ANTARA) - Psikolog Anak, Self-Growth dan Parenting Coach dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Irma Gustiana Andriani, menyarankan orang tua dapat melakukan langkah “ADAPTASI” kepada anak untuk mengatasi kecemasan saat proses pendampingan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.

“ADAPTASI” sendiri merupakan akronim dari amati, dengarkan, alihkan, pahami, tanyakan, apresiasi, sentuhan, dan ingatkan diri.

“Kecemasan itu bisa muncul karena beberapa hal, misalnya terlalu banyak informasi yang dikonsumsi, atau sebaliknya informasi yang dimiliki sedikit, atau memang punya riwayat kecemasan,” kata Irma saat webinar dikutip pada Rabu.

Untuk mengatasi kecemasan ketika melepas anak menjalani PTM di sekolah, hal pertama yang perlu dilakukan orang tua adalah amati sejauh mana kesiapan anak, mulai dari segi fisik hingga mentalnya.

“Selain itu, amati apakah dia sudah mengerti literasi protokol kesehatan tentang 5M. Kalau misalnya belum bisa dan belum mahir, berarti orang tua ada tanggung jawab untuk memberikan stimulasi atau latihan-latihan berkelanjutan setiap hari. Dan itu semua bisa dilakukan dengan role play atau ajak anak bermain peran,” ujar Irma.

Selanjutnya, dengarkan kebutuhan dan keinginan anak. Irma mengatakan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak akan lebih baik apabila diciptakan daripada hanya menuntut anak dengan keinginan orang tua saja.

Selama proses PTM, orang tua juga perlu mengalihkan anak agar tidak terus-terusan berhadapan dengan gadget dengan tetap melakukan aktivitas fisik.

“Fisiknya harus tetap dimaksimalkan. Apalagi yang anaknya masih kecil, aktivitas secara motorik dasar itu harus tetap didapatkan supaya bisa menyeimbangkan kemampuan-kemampuan dia yang lain,” katanya.

Kemudian, pahami situasi dan kondisi anak di saat pandemi agar orang tua dapat lebih realistis terhadap keadaan dengan tidak memaksakan beragam ekspektasi.

“Misalnya, anak-anak yang tadinya sebelum pandemi dan bisa belajar offline nilainya bagus-bagus dan selalu gembira. Lalu sekarang, dia sesekali murung dan belajarnya jadi acak-acakan. Orang tua harus memahami situasi tersebut. Jangan memberikan tekanan yang besar. Memahami ini bisa kita lakukan dengan bertanya kepada anak,” terang Irma.

Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan sederhana yang berkaitan dengan perasaan sang anak perlu ditanyakan. Sebagai contoh, tanyakan bagaimana perasaan anak saat kembali ke sekolah, bagaimana perasaan anak saat bertemu dengan teman-temannya, kemudian tanyakan pula adakah yang bisa orang tua bantu.

Tak berhenti sampai di situ, orang tua juga perlu menyampaikan apresiasi atas segala usaha yang telah anak lakukan. Irma mengatakan anak tentu mengalami ketidaknyamanan selama bersekolah saat pandemi, namun pada satu sisi anak juga harus berjuang melewati sehingga dalam perjalanannya dapat muncul konflik-konflik dalam diri sang anak.

“Apresiasi bisa dilakukan salah satunya dengan memberikan sentuhan. Sentuhan bisa mengaktivasi hormon bahagia anak. Bisa usap rambutnya, peluk badannya, itu sebetulnya yang anak-anak inginkan,” katanya.

Terakhir, Irma menekankan orang tua harus selalu ingatkan pada diri sendiri bahwa saat ini sedang diamanatkan untuk menjadi pendamping anak dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran digital yang tergolong baru.

“Tidak ada yang bilang ini mudah. Ini sesuatu yang baru bagi kita. Tapi mudah-mudahan setelah satu setengah tahun pandemi, kita mulai terbiasa bagaimana caranya bantu mereka untuk sama-sama menjalani situasi dengan bahagia, sehingga ketika pandemi berakhir yang dia ingat adalah ingatan-ingatan positif tentang bagaimana orang tuanya mendampingi dia,” pungkasnya.
 
Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024