Jakarta (ANTARA) - Pengurus Dewan Pengurus Pusat Persatuan Terapis Gigi dan Mulut Indonesia (DPP PTGMI) menyebutkan ahli dan tukang gigi nonterapis mendapat izin memasang gigi tidak permanen sesuai Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014.
"Ahli gigi dan tukang gigi itu sebetulnya bukan tenaga kesehatan. Namun, memang ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang tukang gigi itu hanya boleh membuat gigi palsu lepasan terbuat dari akrilik," kata Ketua Dewan Pengurus Pusat PTGMI Zaeni Dahlan di sela Musyawarah Daerah V Dewan Pengurus Daerah PTGMI DKI Jakarta di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu.
Pada kenyataannya, banyak ahli dan tukang gigi nonterapis yang melampaui batasan tersebut sehingga masuk kategori malapraktik karena menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat.
Dampak dari malapraktik ahli gigi nonterapis dan tukang gigi nonterapis tersebut dapat dilihat pada media sosial Instagram @korbantukanggigi.
Menurut Zaeni, dampak merugikan tersebut dapat terjadi karena ahli dan tukang gigi nonterapis tidak memiliki latar belakang keilmuan yang memadai berupa pendidikan tinggi setingkat Diploma Tiga (D3), seperti terapis gigi dan mulut, dan tidak memiliki praktik klinik yang cukup sehingga setelah korban memasang behel atau gigi palsu terasa dampak negatif yang ditimbulkan bagi kesehatan..
"Karena itu kan perlu tindakan-tindakan medis ya, tindakan-tindakan yang memerlukan pengetahuan yang cukup dan praktik klinik yang cukup juga. Makanya banyak yang kemudian kita sebut sebagai korban tukang gigi itu, yang akhirnya datang ke kami (terapis gigi dan mulut)," ujar Zaeni.