Mengapa film horor disukai penonton Indonesia?

id Film horor,film nasional

Mengapa film horor disukai penonton Indonesia?

Film "KKN di Desa Penari: Luwih Dowo Luwih Medeni" (ANTARA/MD Pictures)

Jakarta (ANTARA) - Bukan rahasia lagi jika horor merupakan salah satu genre film favorit masyarakat Indonesia. Tak hanya karena mampu menghadirkan adrenalin dan pengalaman yang berbeda, film horor dalam negeri sering membawa elemen dan nilai yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.

Belum lagi jika film tersebut sebelumnya telah memiliki source material yang sudah begitu kuat dan populer. Seperti misalnya film pendek karya kelompok mahasiswa yang begitu berkesan kengeriannya selama bertahun-tahun, hingga utas Twitter yang tiba-tiba mampu menggaet ribuan pembaca dalam sekejap.

Hal itu membuat horor selalu menjadi pasar yang menjanjikan bagi banyak rumah produksi (PH) atau studio film.

Menurut data dari situs Film Indonesia, jumlah penonton terbanyak untuk film yang tayang di bioskop hingga hari ini adalah "KKN di Desa Penari" (2022) dengan 10.061.033 penonton. Film "Pengabdi Setan 2: Communion" (2022) pun meraih 6.391.982 audiens, sementara film pertamanya pada 2017 mendapatkan 4.206.103 penonton.

Apa yang bisa dilihat dari fenomena ini?

Saya mintai pendapatnya mengenai hal ini beberapa waktu lalu, Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sekaligus pengamat film Hikmat Darmawan menilai film horor lokal masih memiliki tempat di hati masyarakat karena nilai produksi hingga estetika di genre ini mengalami peningkatan.

Tidak dapat terelakkan jika dari masa ke masa, kualitas produksi perfilman Indonesia cenderung menunjukkan progres yang menyenangkan untuk diikuti.

Dulu, di era awal 2000-an, mungkin banyak film horor yang mengandalkan adegan atau visual “panas” sebagai salah satu "nilai jual" filmnya. Namun, sekarang kita sudah bisa melihat ragam film horor yang menonjolkan kekuatan dari segi cerita dan sinematografi yang ciamik.

Dengan peminat yang begitu masif dan perkembangan produksi dan kualitas yang membaik, tentu tak mengherankan jika film horor akan selalu abadi dan digemari banyak orang -- tak hanya di Indonesia, namun juga dunia.

Bisa dibilang sudah tidak terhitung berapa banyak film horor Indonesia yang melanglang buana, menebarkan "terornya" ke banyak negara.

Mulai dari "Rumah Dara" (2009) karya Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto yang mendapatkan apresiasi di Bucheon International Fantastic Film Festival 2009; "Pengabdi Setan" (2017) karya Joko Anwar menjadi film horor terbaik di Toronto After Dark Film Festival; hingga "Perempuan Tanah Jahanam" (2019) karya Joko Anwar yang menjadi film horor Indonesia pertama yang bersaing di kategori Film Fitur Internasional di Academy Awards 2021.

Di sisi lain, terlepas dari segala rasa takut yang dihadirkan di wadah audio-visual, film horor tetaplah sebuah film.

Film, pada dasarnya merupakan media yang dapat memberikan pengalaman dan sudut pandang baru selama kita duduk dan menonton. Film juga merupakan media berkomunikasi dari para pembuatnya, untuk menyampaikan ide, cerita, perasaan, atmosfer, hingga cita rasa dan apresiasi untuk seni.

Seperti diakui sineas Kimo Stamboel ("Rumah Dara", "Sewu Dino") ketika saya minta komentarnya beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa membuat film horor merupakan salah satu cara untuk menyentil sejumlah topik dengan pendekatan yang berbeda.

Bagi Kimo, film horor memungkinkan kita semua yang terlibat — baik sebagai pencerita maupun penonton, untuk mengeksplorasi sisi buruk — baik pada orang lain maupun diri kita.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Film horor dan kekuatannya merangkul Indonesia

Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.