Mungkinkan The Beatles bersatu jika John Lenon tak tewas

id john lennon,the beatles,now and then

Mungkinkan The Beatles bersatu jika John Lenon tak tewas

Para personel The Beatles (kiri ke kanan): John Lennon, Ringo Starr, Paul McCartney, dan George Harrison. (ANTARA/Instagram/@thebeatles)

Jakarta (ANTARA) - Tanggal 8 Desember 1980 bisa jadi merupakan mimpi paling buruk bagi para penggemar band The Beatles. Pada empat dekade lalu itu, mantan personel band pop tersebut yaitu John Lennon secara tragis mesti terhuyung dan terkapar karena empat terjangan peluru pada bagian punggungnya. 

Sempat dilarikan ke Rumah Sakit Roosevelt, Lennon lantas mengembuskan napas terakhir 10 menit berselang. Hari itu empat dekade lalu hingga milidetik ini akan selalu terkenang dalam ingatan penggemar musik dunia, utamanya pencinta The Beatles alias Beatlemania.

Sejak kasus penembakan tersebut, Beatlemania pun berspekulasi tentang apa yang mungkin terjadi dengan band tersebut seandainya John Lennon masih menghirup napas panjang.





Sebuah wawancara dengan John pada tahun 1975 yang ditemukan kembali dari arsip BBC, memberikan beberapa petunjuk mengenai hal tersebut.
Para personel The Beatles: Ringo Starr (depan), John Lennon, Paul McCartney, dan George Harrison (kiri ke kanan belakang). (ANTARA/Instagram/@thebeatles)


Malam petaka
Fakta mencatat bahwa John Lennon sempat bertemu dengan sang algojo yang memuntahkan peluru dari pistol ke tubuhnya yaitu Mark Chapman sebanyak dua kali pada hari nahas 8 Desember 1980. Mereka kali pertama bertemu sekitar pukul 5 sore di luar tempat tinggal Lennon.

Saat itu, John bersama sang istri Yoko Ono pergi keluar apartemen Dakota New York usai menyelesaikan wawancara radio untuk mempromosikan album baru kelima mereka "Double Fantasy". Pada sore itu, Mark Chapman mendekati John untuk menanyakan apakah dia bisa menandatangani salinan album LP terbaru tersebut. Album "Double Fantasy" itu kemudian digunakan sebagai bukti dalam persidangan Chapman dan dilaporkan dijual dalam lelang pribadi seharga 1,5 juta dolar pada tahun 2020.

John sempat berfoto dengan Chapman, lantas melompat ke atas sebuah taksi bersama Ono menuju studio rekaman untuk mengerjakan lagu baru berjudul "Walking on Thin Ice".

Usai menyelesaikan proses rekaman, pasangan suami istri itu segera pulang menggunakan mobil sekitar pukul 22.30. Mereka sempat berencana untuk pergi ke restoran, namun --menurut wawancara BBC dengan Ono pada tahun 2007, John sangat ingin memberikan ucapan pengantar tidur kepada putra bungsunya yaitu Sean, sebelum anak laki-laki berusia lima tahun itu tertidur. Maka, pasangan John-Yoko keluar dari kendaraan mereka dan mulai berjalan menuju gedung Dakota, sembari John membawa kaset hasil sesi rekaman pada hari itu.

Ternyata, Mark Chapman sudah menunggunya di sana sambil memegang salinan novel "Catcher in the Rye" karya JD Salinger dan LP yang ditandatangani John beberapa jam sebelumnya. Saat musisi itu berjalan melewati dirinya, Chapman mengeluarkan pistol dan menembak beberapa kali ke arah punggung John.

Kepanikan segera menyelimuti kegelapan malam di sekitar Dakota.

Salah seorang mantan penjaga pintu apartemen Dakota bernama Jay Hastings menceritakan bahwa pada malam nahas itu, dia ingat salah satu rekan penjaga pintu lainnya bernama Jose sempat bertemu dengan pelantun lagu "Strawberry Fields Forever" itu beberapa saat setelah John ditembak.

"Saya bisa mendengar Jose di luar dan berkata, 'Oh, Tuan Lennon.' Kemudian blam, blam, pintu tertutup dan saya bisa mendengar derap langkah cepat menuju pintu masuk. Lalu saya berjalan ke konter tempat terdapat tombol keamanan tersembunyi untuk membuka kunci pintu, sehingga orang bisa masuk ke Dakota," kenang dia.



Hastings lantas berkata, "Saat saya berada di sana dengan jari saya di tombol, dia (John) berlari, segera setelah mendengar suara tembakan, dan dia berkata, 'Saya tertembak, saya tertembak'. Dia berlari melewati saya ke kantor belakang dan pingsan begitu saja."

"Saya tidak tahu seberapa parah dia tertembak. Saya pergi ke kantor belakang. Yoko (Ono, istri John) ada di sana, tepat di belakangnya dan berteriak, 'Panggil ambulans!'" ingat Hastings.

Dia juga mengingat bahwa rekannya Jose telah menekan tombol panik yang ada di bilik penjaga pintu dengan pesan yang dikirimkan terus-menerus kepada pihak kepolisian. Dalam upaya untuk menghubungi polisi, Hastings menelepon 911 dari lobi Dakota.

Ketika Jose memberi tahu Hastings bahwa penyerang John masih berada di luar dan tidak bersenjata, dia lantas mengambil sebuah tongkat di atas brankas dan menuruni tangga.

"Saya terus mengawasi orang itu karena saya khawatir dia akan melarikan diri," ucap Hastings.

Saat mendekati Mark Chapman sang perampas nyawa John, Hastings mengatakan bahwa pemuda itu tengah menghadap ke dinding dan melakukan sesuatu, seperti sedang membaca sebuah buku. Beberapa saat kemudian, dia ingat polisi datang yang awalnya berpikir bahwa Hastings adalah pelakunya.

"Saya terlihat sedikit gila karena tangan saya sudah berlumuran darah. Saya baru saja mengenakan kemeja, kemeja putih tanpa dasi," jelas dia.

Tetapi rekan Hastings yaitu Jose dengan cepat mengarahkan para petugas kepolisian untuk menangkap Chapman yang akhirnya dijatuhi hukuman 20 tahun karena telah menembak John.

Reuni eks-The Beatles
Setelah peristiwa penembakan John Lennon, para penggemar yang berduka berbondong-bondong datang ke gedung Dakota untuk meninggalkan bunga dan kartu ucapan belasungkawa. Selama berhari-hari, stasiun radio hanya memutar lagu-lagu The Beatles dan John Lennon.

Di kampung halamannya di Liverpool, sebanyak 30.000 orang berkumpul untuk mengheningkan cipta selama 10 menit. Hal yang sama juga dilakukan oleh sebanyak 225.000 orang di Central Park, tak jauh dari lokasi kejadian perkara.



Pembunuhan yang tidak masuk akal itu segera menimbulkan gelombang ketidakpercayaan di seluruh dunia. Sulit untuk melebih-lebihkan pengaruh besar The Beatles sebagai sebuah fenomena budaya dan makna kehadiran mereka bagi peradaban. Mereka bukan sekadar bintang pop karena empat sekawan John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr terbukti sukses mengubah lanskap musik populer.

Eksperimen mereka dengan musik, film, fesyen, narkoba, dan agama, merupakan hal yang paling menonjol pada tahun 1960-an ketika dunia tampaknya sedang mengalami perubahan besar dalam segala hal. Musik The Beatles telah menjadi nada latar kehidupan seluruh generasi masyarakat dan membantu mereka terhubung dengan apa yang terjadi di sekitar mereka satu sama lain.

Musik John Lennon yang dianggap sangat berarti bagi orang-orang selama hidupnya, menjadi semakin penting setelah kematiannya. Seperti lagu "Imagine" (1971), lagu "(Just Like) Starting Over" dan "Woman" dari album "Double Fantasy" segera menduduki nomor satu pada peringkat tangga lagu Inggris. Rekaman terakhir John itu menjadi hit di seluruh dunia dan kemudian memenangkan Grammy untuk "Album Terbaik" tahun 1982.

Pada masa beberapa dekade setelahnya, salah satu pertanyaan besar yang kerap menggelayuti para penggemar The Beatles adalah jika John tidak terbunuh pada 8 Desember 1980, apakah band itu akhirnya bersatu kembali -- setelah dinyatakan bubar pada 29 Desember 1974, untuk membuat lebih banyak karya musik?

Sebelumnya, The Beatles telah mengalami perpecahan yang menyedihkan pada tahun 1970 menyusul sesi rekaman "Let It Be" yang penuh kekacauan. Rasa permusuhan antar-anggota band seputar keretakan hubungan mereka sudah lazim menjadi konsumsi publik.

Setahun usai The Beatles dinyatakan bubar jalan oleh pembetot bass Paul McCartney, John Lennon lantas berkolaborasi membuat sejumlah lagu dengan dua mantan anggota band tersebut yaitu gitaris George Harrison dan pemain drum Ringo Starr. Belakangan, dia pun menghidupkan kembali persahabatannya dengan Paul McCartney.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Andai John Lennon tak terbunuh, akankah The Beatles kembali bersatu?
Pewarta :
Editor: Herry Soebanto
COPYRIGHT © ANTARA 2024