Membangun ketangguhan DIY menghadapi ancaman tsunami

id tsunami,DIY,Yogyakarta,gempa 2006 Oleh Luqman Hakim

Membangun ketangguhan DIY menghadapi ancaman tsunami

Warga mengevakusi korban gempa saat simulasi bencana gempa dan tsunami di Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (21/12). Simulasi yang diikuti petugas BNPB, Basarnas, Polri, TNI, Relawan serta masyarakat tersebut untuk meningkatkan kesiagaan warga dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/ama/16.

Yogyakarta (ANTARA) - Marwan (41) mengaku masih trauma dengan peristiwa bencana gempa bumi dahsyat di Yogyakarta pada 27 Mei 2006.

Gempa berkekuatan 5,9 skala Richter yang berlangsung selama 57 detik pada pukul 05.53 WIB pagi itu merenggut lebih dari 5.782 jiwa dengan 390.077 lebih rumah roboh, termasuk rumah Marwan.

Beberapa menit setelah diguncang gempa laiknya kiamat itu, ia dan warga lainnya masih dihebohkan dengan kabar gelombang tsunami yang menyebar luas dari mulut ke mulut, bahkan ada yang mengumumkan menggunakan pengeras suara.

Mendengar informasi naiknya air laut dari arah Pantai Parangtritis, warga yang masih panik dan terpukul dengan dampak gempa lantas berbondong-bondong untuk kembali menyelamatkan diri mencari bukit atau tempat yang lebih tinggi.

Marwan kepada ANTARA menyebut kala itu warga ketakutan karena pada umumnya langsung teringat dengan gempa besar di Aceh pada 2004 yang juga langsung diikuti dengan tsunami.

"Banyak masyarakat yang keluar dari dusun masing-masing, padahal saat itu di dusun kami, banyak warga yang meninggal. Ya (jenazah) ditinggal begitu saja," ujar Warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul itu, pekan ini.

Meski demikian, Marwan termasuk warga yang tidak terprovokasi dengan hoaks itu sehingga memilih bertahan di rumahnya yang hancur.

Peristiwa 18 tahun silam itu mengingatkan bahwa Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler di Indonesia dengan panorama alam indah, kekayaan budaya, juga kesenian tradisionalnya, ternyata juga menyimpan potensi risiko bencana yang perlu diwaspadai, termasuk gempa dan tsunami.

Wilayah pesisir selatan DIY berlokasi pada jalur subduksi akibat pertemuan lempeng IndoAustralia dan Eurasia yang membentang dari barat Sumatera hingga Pulau Timor.

Subduksi adalah peristiwa saat dua atau lebih lempeng tektonik saling bertumbukan yang salah satunya menunjam ke bawah lempeng lainnya.

Jalur itu dikenal dengan Zona Megathrust dan tata letak tersebut membuat DIY berpotensi mengalami kejadian gempa berkekuatan hingga magnitudo 8,7 dan berpotensi tsunami.

Selain Zona Megathrust, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut keberadaan sumber gempa Sesar Opak di DIY yang memiliki magnitudo tertarget magnitudo (M) 6,6 masih terus aktif sehingga memiliki potensi memicu gelombang tsunami setinggi 8--10 meter.

Membaca peta risiko itu, Pemda DIY telah mengambil langkah strategis untuk mengurangi dampak bencana dengan mendesain sejumlah infrastruktur tahan gempa dan tsunami, serta terus menggencarkan pelatihan mitigasi kebencanaan kepada masyarakat.

Salah satu infrastruktur vital yang dibangun dengan konstruksi tahan gempa dan tsunami adalah Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kabupaten Kulon Progo.

Lantai dua dan lantai mezzanine YIA telah didesain sebagai tempat evakuasi paling aman dan memadai manakala terjadi gempa dan tsunami, bahkan jika ketinggian mencapai 12 meter dari permukaan laut (dpl).

Sistem peringatan dini tsunami Bandara Internasional Yogyakarta juga terkoneksi dengan jaringan sensor gempa bumi, sebanyak 372 sensor yang terpasang di seluruh Indonesia.

Warga mengikuti simulasi bencana gempa dan tsunami di Lapangan Srigading, Sanden, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (30/11). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/Koz/mes/13. (.)

Komunitas Siaga Tsunami

Menghadapi potensi gempa bumi megathrust yang dapat memicu terjadinya tsunami, BPBD DIY telah memperkuat kesiapsiagaan masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan pesisir selatan melalui simulasi, edukasi, dan sosialisasi.

Pengetahuan masyarakat sampai tingkat paling bawah diperkuat untuk memahami, mengenali, menyadari, tingkat ancaman bencana di sekitarnya serta mampu mencegah dan menekan risiko ancaman.

Pengetahuan itu ditanamkan melalui berbagai program, antara lain, satuan pendidikan aman bencana (SPAB) di lembaga pendidikan, serta desa tangguh bencana (Destana).

Kabupaten Bantul menjadi salah satu wilayah di DIY yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap aktivitas gempa bumi dan tsunami karena lokasinya yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Empat kelurahan di kabupaten itu yakni Kelurahan Parangtritis dan Tirtohargo di Kecamatan Kretek, Kelurahan Gadingsari di Kecamatan Sanden, dan Kelurahan Poncosari di Kecamatan Srandakan terpetakan sebagai wilayah paling rawan diterjang tsunami, karena sebagian daerahnya merupakan pesisir pantai selatan.

Komunitas siaga tsunami pun telah terbentuk di kalangan masyarakat di empat kelurahan itu.

Karena dinilai berhasil membangun masyarakat yang tangguh menghadapi potensi tsunami, empat kelurahan di Bantul itu memperoleh sertifikat Tsunami Ready Community (Masyarakat Siaga Tsunami) pengakuan dari UNESCO pada kegiatan 2nd Global Tsunami Symposium di Aceh pada 12 November 2024.

Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan dan Logistik BPBD Bantul Antoni Hutagaol memastikan terhadap empat kelurahan itu, pihaknya terus memberikan dukungan penguatan komunitas dan kesiapsiagaan masyarakat, di antaranya melalui kegiatan simulasi menghadapi tsunami.

Selain Bantul, masyarakat di enam desa yang berlokasi di pesisir Pantai Glagah Kabupaten Kulon Progo, DIY, juga telah memperoleh penguatan kesiapsiagaan melalui simulasi sekaligus pemasangan jalur evakuasi.

Berikutnya, di sepanjang pesisir Kabupaten Gunungkidul, BPBD juga telah membuat jalur evakuasi serta memasang rambu jalur evakuasi di sejumlah titik manakala terjadi tsunami.

Masyarakat di DIY terus diimbau tidak panik menghadapi potensi gempa bumi megathrust yang dapat memicu tsunami, namun terus memperkuat kesiapsiagaan menghadapi bencana yang waktunya tidak dapat diprediksi itu.

Kesiapan pelaku wisata

Menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia, DIY memiliki tanggung jawab mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan, termasuk saat menghadapi potensi bencana seperti tsunami.

Pemda beserta pelaku pariwisata pun terus berkoordinasi untuk meminimalkan risiko bencana guna memastikan wisatawan yang berkunjung ke wilayah ini tetap aman saat terjadi bencana.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk memastikan kesiapsiagaan bencana di lingkungan perhotelan.

Satgas itu terbentuk setelah pada medio Agustus 2024 berkembang informasi terkait potensi gempa bumi megathrust di Indonesia.

Mereka mendapat pelatihan mencakup kesiapan SDM hotel dalam penyelamatan diri, teknis pengarahan untuk tamu manakala terjadi bencana, hingga pemasangan petunjuk dan arah evakuasi.

Sebagai bentuk dukungan kepada Pemda DIY, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY pun mengusulkan pembentukan crisis center yang bertugas merespons dan mengelola informasi penanganan kebencanaan di wilayah ini secara cepat.

Crisis center, menurut Ketua GIPI DIY Bobby Ardiyanto, dibutuhkan untuk memberikan kepastian keamanan khususnya bagi para wisatawan yang tengah berlibur di DIY kala terjadi bencana.

Melalui crisis center diharapkan berbagai arus informasi terkait peristiwa bencana yang simpang siur bisa segera diluruskan sehingga masyarakat serta wisatawan tidak terjebak mengonsumsi kabar yang tidak benar atau hoaks.

Kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana seperti tsunami menjadi bukti bahwa keamanan dan kenyamanan wisatawan serta masyarakat di DIY menjadi prioritas utama.

Melalui kolaborasi Pemerintah, masyarakat, dan pelaku pariwisata, provinsi ini tidak hanya siap menyambut wisatawan dengan pesona alam dan budayanya, tetapi juga jaminan rasa aman secara beriringan.

Editor: Achmad Zaenal M



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membangun ketangguhan DIY hadapi ancaman tsunami