Komisi A DPRD DIY dorong Pemda DIY bangun museum pemindahan ibu kota ke Yogyakarta

id Eko ,DPRD DIY

Komisi A DPRD DIY dorong Pemda DIY bangun museum pemindahan ibu kota ke Yogyakarta

Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto saat mengunjungi Gedung Perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat, Jumat (26/1/2024) (istimewa)

Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto mendorong Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta membangun museum sejarah peristiwa pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta dengan menggunakan dana keistimewaan. 

"Prinsipnya bisa gunakan dana keistimewaan (danais), bisa diinisiasi oleh pemda DIY dan harus serius lakukan penelitian dengan ahli sejarah, kedua penting nya pelibatan masyarakat, ketiga penting komitmen anggaran," kata Eko Suwanto saat mengunjungi Gedung Perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat, Jumat. 

Menurut Eko, Pemda DIY dapat mencontoh keberadaan dan terawatnya Gedung Perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat dengan disertai kajian serius guna membangun destinasi wisata sejarah. 

"Pemda DIY bisa beli hotel di Malioboro, bangun toilet miliaran rupiah, semestinya bisa membuat museum perjuangan tokoh bangsa, bangun museum kedaulatan negara, Jogja Kota Republik, juga bisa. Maka Paniradya Keistimewaan harus serius bangun museum sejarah perjuangan tokoh bangsa Indonesia di Yogyakarta," kata politisi muda PDI Perjuangan itu. 

Eko Suwanto menambahkan Pemda DIY selama ini sudah bangun destinasi wisata sejarah di Selomartani, akan tetapi belum ada monumen pindahnya Ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. 

"Ada sejarah bantuan enam juta gulden di awal masa kemerdekaan. Kisah sejarah ini penting dan pemda DIY perlu sungguh-sungguh dan serius bangun destinasi pariwisatanya. Sejarah maklumat 5 September 1945 belum ada dan perlu ada museum sebagai destinasi wisata sejarah," kata dia. 

"Apa gunanya? Agar tak ada lagi orang seperti Ade Armando kader PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep. Tidak paham konteks sejarah, malah bicara yang melukai hatinya rakyat," kata Caleg DPRD DIY Dapil Kota Yogyakarta ini.

Menurut dia, mengunjungi lokasi bersejarah tempat perundingan Indonesia dan Belanda di Jawa Barat itu memberikan keteladanan pentingnya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan seperti dicontohkan oleh pemimpin.

"Kunjungan ini bagian dari menghikmati jejak kepemimpinan Bung Karno dan Hatta bersama PM Syahrir di tahun awal kemerdekaan, melihat dekat catatan sejarah perundingan Linggarjati soal mendesak Belanda akui kemerdekaan Indonesia," kata Eko Suwanto. 

Di museum yang bersejarah inilah jejak perjuangan diplomasi Indonesia dikenali. Gedung Perundingan Linggarjati ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya yang dilindungi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Saat ini Gedung Perundingan Linggarjati berada di bawah pengelolaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemda Kuningan.

Gedung Linggarjati asalnya tahun 1918 adalah  gubuk milik Ibu Jasitem beralih tangan pada 1921 ke seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Tersana dan dirombak menjadi bangunan permanen .

Pada 1930 berpindah kepemilikan dan dijadikan rumah tinggal seorang berkebangsaan Belanda Mr. Jacobus (Koos) Van Johannes. Di tahun 1935 rumah tinggal Mr. Van Johannes dikontrak oleh Theo Huitker untuk dijadikan Hotel yang bernama "Rustoord".

Saat Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda tahun 1942, Belanda menyerah tanpa syarat yang mengakibatkan berpindah tangannya wilayah Nusantara dari Belanda ke Jepang, tidak terkecuali wilayah Kuningan. Hotel Rustoord diganti namanya menjadi Hotel "Hokayryokan".

Pada tanggal 17 Agustus Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

"Bara Nasionalisme menjalar ke seluruh penjuru nusantara, lalu hotel Hokayryokan pun berubah namanya menjadi Hotel Merdeka," kata Eko Suwanto, politisi muda PDI Perjuangan.

Kala Belanda dan Indonesia sepakat berunding, bersama untuk diadakan perundingan. Pihak Belanda menolak berunding bila Yogyakarta jadi tempat perundingan, dan Soekarno-Hatta menolak kalau dilakukan di Jakarta karena tentara Belanda banyak di sana.

Maria Ulfah, Menteri Sosial Pertama RI, usul dilaksanakan saja di Linggarjati, kawasan peristirahatan di Kuningan sebagai tempat perundingan. Selain tidak jauh dari Jakarta dan masih berada di wilayah kekuasaan RI, suasana Kuningan yang sejuk dan nyaman memberikan nilai tambah sebagai tempat perundingan.

Pada tanggal 11-13 November diadakan Perundingan Liggarjati antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan Naskah Linggarjati.

"Perjalanan sejarah bangsa, di Linggarjati inilah ada tempat  Bung Karno duduk, sebelum perundingan dimulai Betapa hebat peran para tokoh bernegosiasi, berdiplomasi untuk NKRI," kata Eko Suwanto, politisi muda PDI Perjuangan.

Sudaryanto anggota Komisi A DPRD DIY dari PKB, menyebutkan lewat kunjungan napak tilas, menjadi momentum menghikmati lagi perjalanan sejarah tokoh bangsa agar paham sejarah panjang NKRI.

"Napak tilas sejarah penting terangkum menjaga buku, agar bisa dibaca lebih banyak orang dan generasi mendatang dapat belajar sejarah tokoh bangsa, dalam upaya berjuang pertahankan kemerdekaan," kata Sudaryanto.