Yogyakarta (ANTARA) - Pemerintah Kota Yogyakarta memperkuat pelibatan peran remaja sebagai konselor teman sebaya untuk ikut serta menurunkan angka stunting di wilayah ini.
"Kami berencana memperkuat peran peer konselor atau teman sebaya dari kalangan remaja," kata Ketua Tim Kerja Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Iswari Paramita dalam keterangannya di Yogyakarta, Jumat.
Menurut Iswari, dengan melibatkan organisasi siswa intra sekolah (OSIS) serta Dinas Pendidikan dan Pemuda (Dindikpora), kalangan remaja bisa berperan menjadi pelopor kebiasaan baik yang berkelanjutan terhadap teman sebayanya melalui edukasi gizi dan kebiasaan sehat.
Selain itu, mereka juga dapat menggerakkan kebiasaan konsumsi tablet tambah darah untuk menekan angka anemia pada remaja putri yang merupakan salah satu faktor risiko melahirkan anak stunting di masa depan.
Meski demikian, kasus anemia di Yogyakarta pada remaja putri berhasil ditekan dari 29,5 persen pada 2023 menjadi 25,67 persen pada 2024 melalui konsumsi tablet tambah darah.
Pemerintah Kota Yogyakarta, ujar Iswari, telah mengalokasikan anggaran dari dana alokasi khusus (DAK) non fisik untuk pemberian makanan tambahan (PMT) kepada ibu hamil dengan anemia atau kekurangan energi kronis (KEK), serta baduta yang mengalami masalah gizi.
Dana keistimewaan (danais) juga diberikan kepada kelurahan untuk membantu keluarga yang berisiko stunting.
"DAK non fisik memiliki keterbatasan, sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai sektor. Dengan kerja sama lintas sektor, perangkat daerah terkait termasuk korporasi, pengentasan masalah stunting akan lebih optimal," ujar dia.
Iswari menyebutkan angka prevalensi stunting di Kota Yogyakarta terus menunjukkan tren penurunan dengan angka prevalensi stunting tercatat 11,76 persen pada 2023, dan berhasil turun menjadi 11,27 persen pada 2024.
Pihaknya juga menyoroti peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pengentasan stunting, dari 89 persen pada 2023 menjadi 92 persen pada 2024.
"Kalau dilihat dari angkanya, masyarakat yang belum berpartisipasi kemungkinan besar anak-anak yang tidak bermasalah. Ini menjadi tantangan untuk memastikan seluruh keluarga, terutama yang berisiko, ikut serta dalam program ini," kata dia.
Stunting, kata Iswari, adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif anak.
Dia menegaskan bahwa penanganan stunting tidak hanya berfokus pada balita, tetapi juga pada remaja putri dan ibu hamil melalui berbagai program strategis, termasuk melalui pemantauan pertumbuhan anak sejak masa kehamilan.
Langkah tersebut dipadukan dengan edukasi tentang ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan (PMT), dan sinergi lintas sektor.
Pada 2025, kata Iswari, diproyeksikan terdapat 10.989 bayi bawah lima tahun (balita) dengan 30 persen di antaranya adalah bawah dua tahun (baduta) yang menjadi fokus utama program pencegahan stunting.
"Sebanyak 30 persen ini masih secara keseluruhan, kalau yang memiliki bermasalah gizi belum bisa dipastikan. Optimalisasi pencegahan sejak dini (di bawah 2 tahun) lebih efisien dalam mengurangi angka kasus stunting," ujar dia.