Cirebon (ANTARA) - Jalur Pantai Utara (Pantura), salah satu poros utama arus mudik di Pulau Jawa, kembali dipenuhi ribuan pemudik sejak H-10 Lebaran 2025, tepatnya pada Jumat (21/3).
Sejak pagi buta, deru kendaraan roda dua dan empat tak pernah berhenti mengalir. Pemandangan khas musim mudik kembali terlihat: lampu kendaraan berpadu dengan cahaya jingga matahari, menggambarkan semangat para perantau yang ingin segera sampai di kampung halaman.
Di sejumlah titik istirahat, para pemudik tampak memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Ada anak-anak yang tertidur di pangkuan ibunya di halte darurat, sementara sang ayah duduk santai di tikar sederhana.
Pedagang kaki lima pun turut meramaikan suasana dengan menjajakan makanan ringan hingga oleh-oleh khas daerah.
Tradisi yang tak lekang waktu
Mudik Lebaran tak sekadar perjalanan pulang. Ia menyimpan banyak kisah dan tradisi unik yang muncul saban tahun. Di Jalur Pantura, salah satu tradisi yang selalu dinanti adalah "sapu koin" di Jembatan Sewo, Indramayu, Jawa Barat.
Jembatan ini bukan hanya penghubung antarwilayah, tapi juga saksi hidup sebuah kebiasaan yang terus bertahan: warga duduk di pinggir jembatan, bersiap dengan sapu lidi di tangan, menanti koin yang dilempar para pemudik.
Tursini, seorang ibu paruh baya yang sudah bertahun-tahun menjadi penyapu koin, menuturkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak lama.
Ia berkisah bahwa kebiasaan ini terkait dengan mitos arwah kakak-beradik Saedah dan Saeni, penari ronggeng yang konon berubah menjadi buaya dan bersemayam di sungai bawah jembatan.
Sebagai bentuk penghormatan dan doa keselamatan, para pemudik melempar koin saat melintasi jembatan tersebut.
“Dulu bisa dapat sampai Rp50.000 sehari, sekarang paling Rp20.000 sampai Rp25.000,” kata Tursini.

Meski sederhana, uang itu tetap berarti untuk mencukupi kebutuhan harian. Meski aparat kepolisian telah mengimbau agar kebiasaan ini dihentikan demi keselamatan, tradisi sapu koin tetap bertahan sebagai bagian dari warna khas mudik Pantura.
Jalur Alternatif di Bawah Jembatan
Di sisi lain Pantura, penutupan sejumlah titik putar balik (u-turn) membuat warga berinisiatif membangun jalur alternatif.
Di bawah jembatan, mereka membuat jembatan darurat dari bambu dan papan kayu setinggi 1,5 hingga 2 meter sebagai akses bagi pemotor yang enggan memutar jauh.
Yana Suryana, warga setempat, menyebut pembangunan ini dilakukan secara swadaya. Tidak ada tarif resmi, hanya sumbangan sukarela dari pengguna jalan.
“Ada yang kasih Rp1.000, Rp2.000, sampai Rp5.000,” katanya. Dalam sehari, sumbangan bisa mencapai Rp2 juta.
Jembatan darurat ini akan tetap difungsikan hingga arus balik usai dan lalu lintas kembali normal. Meski cukup berisiko, banyak pemudik menilai jalur ini bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan.
Nelayan pun mudik
Fenomena mudik juga terjadi di jalur laut. Di Pelabuhan Karangsong, Indramayu, ratusan kapal nelayan mulai bersandar setelah menempuh pelayaran panjang dari perairan Papua, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dari sekitar 400 kapal besar berbobot di atas 50 Gross Tonnage (GT), sudah 300 kapal kembali, dan jumlahnya diperkirakan terus bertambah menjelang Lebaran.
Kepala UPP Syahbandar Indramayu, Capt Ujang Sunardi mengatakan bahwa momen ini adalah tradisi tahunan, sekaligus persiapan menjelang acara nadran, yaitu pesta laut yang digelar pasca-Lebaran.
Untuk menjaga kelancaran lalu lintas kapal, kapal patroli telah dipindah ke muara sebagai antisipasi kepadatan.
Mudik tak biasa di jalur Cirebon
Mudik dengan kendaraan pribadi adalah hal lumrah, namun bagi Akbar, pemudik asal Jakarta, bajaj menjadi pilihan nyaman untuk menuju kampung halamannya di Tegal.
Bersama istri dan sopirnya, ia menempuh perjalanan panjang melintasi Jalur Pantura menggunakan kendaraan roda tiga tersebut. Baginya, meski sempit, bajaj tetap cukup nyaman dan hemat.
“Saya bisa istirahat di dalam dan tidak perlu biaya mahal untuk naik transportasi umum,” katanya.
Toni, pemudik lain, juga memilih bajaj untuk mudik ke Brebes. Meski hanya mampu melaju maksimal 60 km per jam, ia memastikan kendaraan dalam kondisi prima dan rutin beristirahat.
“Semangat pulang kampung itu tak mengenal batas, bahkan dengan bajaj sekalipun,” ujarnya.
Pengalaman unik lainnya datang dari Syarifuddin, yang memilih sepeda motor listrik untuk menempuh perjalanan dari Indramayu ke Tulungagung.
Meski tantangan utamanya adalah ketersediaan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum), ia merasa lebih tenang karena kini banyak titik pengisian tersedia di kantor PLN maupun fasilitas umum.
Dengan baterai penuh, motor listriknya bisa menempuh 120 km, dan ia telah merancang titik pemberhentian untuk isi daya. Selain hemat, ia bangga berkontribusi dalam pengurangan emisi gas buang.
“Semoga ke depan semakin banyak yang mudik pakai kendaraan listrik,” harapnya demi perjalanan yang lebih nyaman dan ramah lingkungan.
Fokus Utama: Keselamatan
Selama periode mudik 24–29 Maret 2025, tercatat 806.111 kendaraan melintasi Jalur Pantura Cirebon, baik dari arah Jakarta menuju Jawa Tengah maupun sebaliknya.
Kepala Polresta Cirebon, Kombes Pol Sumarni, mengingatkan pentingnya menjaga keselamatan selama perjalanan. Ia menekankan agar pemudik mematuhi aturan lalu lintas dan memastikan kendaraan dalam kondisi prima.
“Banyak kecelakaan terjadi karena pengemudi lelah. Istirahat secara berkala sangat penting,” ujarnya.
Rest area sudah disiapkan di berbagai titik untuk mendukung kenyamanan pemudik. Penggunaan helm standar, sabuk pengaman, dan batas kecepatan yang wajar pun menjadi hal krusial dalam berkendara.
Pengendara motor juga diimbau untuk tidak membawa barang berlebihan yang dapat membahayakan keseimbangan.
Mudik bukan sekadar perjalanan. Ia adalah pulang—kembali pada akar, keluarga, dan kenangan. Setiap kilometer yang ditempuh menyimpan harapan, doa, dan cerita yang akan dikenang sepanjang hayat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ragam kisah unik di balik riuhnya tradisi mudik