Menguatkan industri perikanan nasional di tengah gejolak global

id perikanan,industri perikanan,ketidakpastian global,tarif impor,tarif AS

Menguatkan industri perikanan nasional di tengah gejolak global

Ilustrasi - Pekerja menjemur ikan di Cilincing, Jakarta, Senin (7/4/2025). ANTARA FOTO/Ferlian Septa Wahyusa/app/tom.

Jakarta (ANTARA) - Industri perikanan Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian, khususnya melalui ekspor berbagai hasil laut ke pasar global.

Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu tujuan utama ekspor hasil laut Indonesia, termasuk udang, tuna, cumi-cumi, gurita, dan produk olahan perikanan lainnya. Namun, langkah Amerika Serikat yang mengubah kebijakan tarif impor dengan menetapkan tarif yang lebih tinggi, kini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi para pelaku usaha perikanan Indonesia.

Perubahan kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk melindungi pasar domestik Amerika, justru memberikan tantangan besar bagi sektor perikanan Indonesia yang bergantung pada ekspor ke AS.

Di pasar AS, komoditas seperti udang beku dan olahan menjadi andalan utama ekspor perikanan Indonesia. Selain udang, produk seperti tuna segar dan kalengan, cumi-cumi, gurita, serta fillet ikan laut dan ikan air tawar (misalnya nila dan patin) juga sangat diminati oleh konsumen AS.

Namun, dengan diberlakukannya tarif impor tinggi, daya saing produk-produk perikanan Indonesia bisa langsung tergerus. Beberapa komoditas yang sangat bergantung pada pasar AS dan sangat rentan terhadap perubahan tarif ini antara lain udang beku dan olahan, tuna segar dan kalengan, cumi-cumi dan gurita.

Baca juga: Perang tarif AS-China, untung atau buntung?

Udang menjadi komoditas yang sangat dominan dalam ekspor Indonesia ke AS. Sebelum adanya tarif tinggi, produk ini mendapatkan akses yang cukup baik berkat skema Generalized System of Preferences (GSP), yang memberikan tarif lebih rendah.

Setelah GSP dihentikan pada 2021, tarif baru yang tinggi berpotensi membuat harga udang Indonesia tidak kompetitif di pasar AS.

Secara keseluruhan, meskipun Indonesia memiliki banyak produk unggulan di sektor perikanan, penghapusan GSP dan penetapan tarif baru ini akan membuat banyak komoditas perikanan Indonesia menghadapi tantangan besar di pasar Amerika Serikat.

Dampak kebijakan tarif baru ini tentunya dirasakan berbeda oleh berbagai pelaku usaha. Untuk perusahaan besar yang selama ini menjadi pemain utama dalam ekspor perikanan Indonesia, kebijakan tarif yang lebih tinggi bisa menyebabkan beberapa kesulitan.

Banyak perusahaan besar yang bergantung pada pasar AS bisa kehilangan pembeli atau terpaksa menurunkan harga secara drastis untuk tetap bertahan. Dalam beberapa kasus, ada kemungkinan bahwa perusahaan-perusahaan besar ini akan mempertimbangkan untuk merelokasi sebagian besar operasional mereka ke negara-negara tetangga, seperti Vietnam, yang memiliki akses lebih baik ke pasar AS dengan tarif yang lebih rendah.

Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berada di sektor perikanan, seperti nelayan tradisional, pembudidaya ikan skala kecil, dan pabrik pengolahan ikan yang lebih kecil, sangat berisiko menghadapi dampak yang lebih parah. Kehilangan akses ke pasar ekspor dapat menyebabkan mereka tidak hanya kehilangan pelanggan internasional, tetapi juga menghadapi tumpukan produk yang tidak terjual.

Pada akhirnya, ini berpotensi menurunkan harga di pasar domestik dan membuat ekonomi lokal di daerah penghasil utama seperti Medan, Lampung, Kendari, Bitung, dan Ambon mengalami guncangan yang cukup berat.

Strategi adaptasi dan mitigasi

Meskipun tantangan yang dihadapi oleh industri perikanan Indonesia cukup besar, masih ada berbagai strategi yang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan tarif impor yang baru ini.

Pelaku usaha di sektor perikanan Indonesia dapat mengambil langkah-langkah berikut untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Pertama, diversifikasi pasar ekspor. Salah satu langkah pertama yang harus diambil oleh para pelaku usaha perikanan adalah mencari pasar alternatif selain Amerika Serikat. Pasar Eropa, Timur Tengah, China, serta negara-negara di Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk produk perikanan Indonesia.

Selain itu, tren makanan sehat dan produk laut yang berkelanjutan semakin diminati di banyak negara. Oleh karena itu, meningkatkan perhatian pada pasar-pasar dengan tren tersebut bisa menjadi strategi yang tepat.

Kedua, sertifikasi dan branding produk. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar global, pelaku usaha perikanan Indonesia perlu meningkatkan daya tarik produk mereka dengan mendapatkan sertifikasi internasional yang mengedepankan keberlanjutan.

Label seperti eco-friendly, sustainable catch, atau organic seafood bisa menjadi nilai tambah yang sangat berharga, terutama di pasar-pasar yang semakin peduli terhadap isu keberlanjutan. Selain itu, membangun branding yang kuat dengan cerita asal-usul produk (traceability) dapat membantu meningkatkan nilai produk dan menarik lebih banyak konsumen global.

Ketiga, penyesuaian skala dan produk. UMKM di sektor perikanan bisa berinovasi dengan mengalihkan sebagian produksi mereka ke produk olahan domestik. Misalnya, mengembangkan produk seperti abon ikan, kerupuk seafood, atau nugget ikan yang bisa dijual di pasar ritel modern dan melalui platform e-commerce.

Baca juga: BI: Berakhirnya diskon tarif listrik pengaruhi inflasi di DIY

Sementara itu, bagi perusahaan besar, salah satu solusi jangka panjang yang bisa dipertimbangkan adalah membuka pabrik pengolahan perikanan di negara ketiga, seperti Meksiko atau Thailand, yang memiliki akses lebih mudah ke pasar AS tanpa terkena tarif yang tinggi.

Keempat, diplomasi ekspor dan negosiasi dagang. Pemerintah Indonesia memainkan peran yang sangat krusial dalam mengatasi dampak dari kebijakan tarif ini. Salah satu langkah yang perlu diambil oleh pemerintah adalah mempercepat negosiasi untuk mendapatkan akses pasar yang lebih baik melalui perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara mitra.

Selain itu, upaya untuk mengembalikan skema GSP yang telah dihentikan pada 2021 juga dapat menjadi solusi yang sangat bermanfaat untuk sektor perikanan Indonesia.

Apabila tidak ada langkah mitigasi yang efektif, dalam 6 hingga 12 bulan ke depan, kita mungkin akan melihat penurunan volume ekspor perikanan Indonesia sebesar 20 hingga 30 persen.

Penurunan ini dapat berimbas pada terjadinya PHK massal di sektor pengolahan dan ekspor, serta gangguan pada rantai pasok yang melibatkan nelayan, pembudidaya ikan, dan eksportir. Selain itu, kelebihan pasokan produk yang tidak terjual di pasar domestik dapat menurunkan harga dan menambah beban bagi para pelaku usaha.

Namun, jika sektor perikanan Indonesia dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan ini, ada peluang besar untuk mempercepat hilirisasi industri perikanan dalam negeri dan memperkuat kemandirian sektor ini, terutama untuk pasar domestik dan regional.

Industri perikanan Indonesia memiliki potensi besar untuk tetap berkembang meski di tengah ketidakpastian global, dengan kunci utamanya adalah kemampuan beradaptasi, diversifikasi pasar, dan peningkatan kualitas serta inovasi produk.

*) Catur Pramono Adi, SPi, MSi adalah Dosen Politeknik Kelautan dan Perikanan Karawang


Baca juga: Akademisi UGM : Strategi campuran untuk hadapi tarif impor 32 persen



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Strategi bertahan industri perikanan di tengah ketidakpastian global

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025