Jakarta (ANTARA) - Televisi masih menjadi salah satu sumber hiburan dan informasi utama dalam rumah tangga Indonesia, meski saat ini harus bersaing dengan gempuran konten dari platform digital.
Bertepatan dengan Hari Televisi Nasional yang diperingati 24 Agustus, pertanyaan mendasar kembali mengemuka: apakah televisi membawa manfaat bagi anak-anak, atau justru sebaliknya?
Tayangan televisi memiliki pengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak, baik dari sisi kognitif, emosi, sosial, maupun fisik, seperti yang dikatakan Psikolog jebolan Universitas Indonesia (UI), Ratih Zulhaqqi, dan Psikolog Klinis Anak dan Remaja dari Lembaga Psikologi UI Vera Itabiliana Hadiwidjojo dalam wawancara dengan ANTARA, Minggu.
Namun, kuncinya terletak pada pemilihan konten yang tepat dan keterlibatan aktif orang tua dalam menyaring serta mendampingi tontonan.
Dua sisi televisi: Antara edukasi dan ancaman perilaku
Vera menjelaskan, dampak televisi bagi anak sangat bergantung pada jenis tayangannya.
“Bisa positif dan negatif,” tegasnya.
Jika tayangan bersifat edukatif, sesuai usia, dan disaksikan dengan pendampingan orang tua, maka anak bisa memperkaya pengetahuan, memperluas kosa kata, hingga belajar nilai moral dan sosial.
Sebaliknya, jika yang dikonsumsi adalah tayangan dengan kekerasan, kata-kata kasar, atau unsur dewasa, maka anak rentan meniru perilaku yang tidak sesuai.
Baca juga: Presiden janjikan bantuan televisi untuk semua sekolah tahun depan
Lebih lanjut, terlalu lama menatap layar juga memicu kebiasaan pasif, mengganggu tidur, hingga menurunkan konsentrasi.
“Jika tayangan buruk, anak bisa meniru perilaku yang tidak tepat, menjadi kurang peka, dan mengembangkan kebiasaan pasif seperti kurang bergerak, kurang interaksi sosial. Selain itu, terlalu banyak menonton TV juga dapat mengganggu konsentrasi, tidur, hingga perkembangan fisik karena berkurangnya aktivitas motorik,” kata Vera.
Senada dengan itu, Ratih menyebut bahwa televisi bisa mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak secara tidak langsung.
“Misalnya perkembangan kognitif, bahasa, kreativitas, bahkan emosi dan kemampuan sosial mereka,” ujarnya.
Tayangan yang mengandung konflik agresif bisa meningkatkan risiko anak mudah marah atau cemas, sementara tayangan penuh empati dan kerja sama justru mengasah keterampilan sosial.
Kriteria tayangan yang tepat untuk anak
Di antara melimpahnya konten hingga tayangan di televisi, tentu masih ada tayangan televisi yang layak dikonsumsi anak-anak. Kedua psikolog tersebut menekankan pentingnya menyaring konten berdasarkan usia, nilai moral, dan format penyajian.
Tayangan yang tepat memiliki beberapa kriteria, yakni memiliki nilai edukatif dan moral yang positif, sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan menggunakan bahasa yang sopan dan mudah dipahami.
“Tayangan untuk anak juga baiknya menampilkan alur yang sederhana, visual yang ramah anak, dan tidak berlebihan dalam konflik atau efek visual,” ujar Vera.
Baca juga: Menarik, tonton "Rumah Masa Depan"
Sementara itu, tayangan yang perlu dihindari salah satunya yang mengandung kekerasan, konten seksual, mistis berlebihan, atau perilaku antisosial.
“Pola asuh atau interaksi salah tanpa ada pelurusan dari orang tua juga perlu dihindari, kemudian iklan konsumtif berlebihan, seperti produk makanan tak sehat atau mainan mahal juga tidak baik,” tambahnya.
Ratih mengungkap, alur cerita yang terlalu cepat juga tidak baik, sebab berisiko menimbulkan overstimulasi dan kesulitan anak membedakan realitas dengan fantasi.
“Anak itu butuh jeda untuk memproses informasi yang mereka miliki. Jadi jangan menonton yang durasinya terlalu lama sehingga akhirnya yang dia lakukan hanya perilaku monoton dan menonton,” kata Ratih.
Panduan orang tua: Antara pendampingan dan batasan
Baik Vera maupun Ratih sepakat bahwa peran orang tua sangat penting dalam membentuk kebiasaan menonton anak.
Mereka menyarankan beberapa strategi efektif. Pertama, buat aturan waktu menonton yang jelas. Untuk anak usia sekolah, beri waktu 1–2 jam per hari.
“Untuk anak di bawah 2 tahun sebaiknya tidak terpapar TV sama sekali. Anak usia ini butuh stimulasi langsung dari interaksi nyata dua arah, bukan layar satu arah,” jelas Vera.
Baca juga: Media jangan hanya kejar "rating"
Pilihkan tayangan yang sesuai usia dan nilai. Orang tua dapat memanfaatkan teknologi, yakni fitur parental control atau tonton bersama anak untuk memastikan kontennya aman.
Tentukan waktu khusus untuk menonton dan hindari kebiasaan menonton tanpa jadwal. Lebih baik tayangan dijadikan bagian dari rutinitas harian yang seimbang.
Vera mengungkap bahwa menonton teleivisi juga bisa menjadi kesempatan bagi orang tua untuk berdiskusi dengan buah hati tercinta. Ajak anak berdiskusi usai menonton.
“Tanyakan pendapat mereka, dan luruskan bila ada konten atau perilaku yang tidak sesuai,” kata dia.
Tidak ada yang lebih baik dari contoh di depan mata. Orang tua juga perlu membatasi diri dalam menonton agar dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Ciptakan zona bebas layar, seperti saat makan, sebelum tidur, atau ketika berkumpul keluarga. Ini membantu menciptakan iklim interaksi langsung yang sehat.
Tahapan usia dan jenis tayangan yang direkomendasikan
Tak semua anak boleh langsung dikenalkan pada televisi. Organisasi Kesehatan Dunia alias WHO dan asosiasi dokter anak dunia menyarankan agar anak usia 0–2 tahun tidak terpapar layar sama sekali, begitu juga menurut Vera dan Ratih.
“Kecuali untuk video call dengan keluarga atau interaksi sosial langsung, sebaiknya nol screen time (waktu layar).” kata Ratih.
Berikut panduan umum berdasarkan usia:
- 0–2 tahun: Sebaiknya tidak menonton TV sama sekali
- 2–5 tahun: Maksimal 1 jam per hari, tayangan edukatif dan didampingi orang tua
- 6–12 tahun: 1–2 jam per hari, pilih konten edukatif dan bermoral (kartun anak, eksperimen sains, dokumenter ringan)
- 13–17 tahun: Diperbolehkan menonton hiburan kategori 13+, namun tetap perlu arahan dan diskusi mendalam dengan orang tua
“Hal yang paling penting bukan hanya apa yang ditonton, tapi juga bagaimana anak menontonnya dan siapa yang mendampingi.” Ratih menegaskan.
Kesimpulan: Televisi sebagai alat, bukan pengasuh
Televisi bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan dan efektif bagi anak, asalkan digunakan dengan bijak. Kunci utamanya adalah keterlibatan aktif orang tua dan pemilihan konten yang sesuai dengan tahap perkembangan anak.
“Hindari menjadikan televisi sebagai ‘pengasuh elektronik’, ganti dengan aktivitas lain misalnya main kreatif, baca buku, berbincang, dan lain-lain. Anak membutuhkan interaksi, cinta, dan contoh dari orang-orang terdekatnya,” kata Ratih.
Pada Hari Televisi Nasional ini, mari jadikan momen ini untuk mengevaluasi kembali peran televisi di tengah keluarga. Karena tayangan yang baik bukan hanya menghibur, tapi juga mendidik dan membentuk karakter generasi masa depan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membentuk anak lewat tayangan Televisi: Panduan dan caranya
