Sinergi meningkatkan kepatuhan pajak melalui Single Profile Policy

id pajak,kepatuhan pajak,coretax,single profile policy,spp,npwp,nik,wajib pajak,nomor induk kependudukan

Sinergi meningkatkan kepatuhan pajak melalui Single Profile Policy

KTP elektronik dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif

Jakarta (ANTARA) - Pajak bukan sekadar instrumen negara untuk mengumpulkan penerimaan, melainkan juga refleksi hubungan kepercayaan antara pemerintah, warga, dan dunia usaha. Ketika masyarakat mematuhi kewajiban pajak, itu bukan hanya karena regulasi yang mengikat, tetapi juga karena mereka merasa sistemnya adil, transparan, dan mudah diakses.

Namun, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, hubungan kepercayaan ini kerap terganggu oleh kompleksitas administrasi, duplikasi data, dan prosedur birokratis yang memakan waktu serta biaya. Akibatnya, potensi penerimaan tidak termanfaatkan secara optimal, sementara keengganan masyarakat terhadap sistem pajak modern masih tinggi.

Salah satu akar persoalannya terletak pada fragmentasi identitas fiskal dan kependudukan. Selama bertahun-tahun, masyarakat menggunakan dua sistem identitas berbeda dimana NIK (Nomor Induk Kependudukan) untuk urusan sipil, dan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) untuk urusan fiskal. Perbedaan ini menimbulkan duplikasi data, kesulitan verifikasi, serta ruang manipulasi yang merugikan integritas administrasi pajak.

Dalam konteks digitalisasi birokrasi dan tuntutan efisiensi, model identitas ganda ini menjadi beban yang tidak relevan lagi. Data wajib pajak tidak jarang tidak sinkron dengan data kependudukan, menyebabkan kesalahan pelaporan, keterlambatan proses, hingga sulitnya penegakan hukum fiskal yang adil dan tepat sasaran.

Karena itu, lahirlah gagasan Single Profile Policy yaitu pemadanan satu identitas dengan menjadikan NIK sebagai kunci utama administrasi perpajakan. Kebijakan ini bukan sekadar inovasi teknis, melainkan langkah strategis menuju sistem fiskal yang lebih inklusif, efisien, dan terpercaya.

Dengan satu basis data tunggal, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengidentifikasi wajib pajak secara presisi, meminimalkan kebocoran data, serta memperkuat pengawasan dan pelayanan. Lebih dari itu, Single Profile Policy merupakan fondasi baru dalam membangun ekosistem kepatuhan sukarela di mana warga negara tidak lagi melihat pajak sebagai beban, tetapi sebagai bentuk kontribusi yang diadministrasikan dengan sistem yang sederhana, aman, dan transparan.

Mewujudkan kepastian pajak

DJP mencatat hingga akhir 2024, terdapat sekitar 72 juta NPWP aktif. Namun, setelah dilakukan proses pemadanan awal dengan data kependudukan dari Ditjen Dukcapil, ditemukan bahwa sekitar 18–20 persen data wajib pajak belum sepenuhnya cocok atau belum memiliki pasangan NIK yang valid.

Ketidaksinkronan ini mengakibatkan inefisiensi dalam pengawasan, rawan duplikasi identitas, serta memperlebar tax gap yaitu selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak yang pada 2023 masih berada di kisaran 35 persen menurut estimasi Kementerian Keuangan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah menginisiasi pemadanan NIK–NPWP secara nasional sejak 2022, dan pada 1 Juli 2024 kebijakan ini mulai diberlakukan secara resmi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2025), dari total 146 juta wajib pajak potensial yang teridentifikasi melalui basis data kependudukan, lebih dari 93 juta NIK telah berhasil dipadankan dengan NPWP, atau sekitar 64 persen dari target nasional. Sementara itu, DJP menargetkan seluruh pemadanan tuntas pada akhir 2025, seiring penerapan penuh Single Profile Policy dalam sistem Coretax Administration System (CAS) yang menjadi tulang punggung digitalisasi perpajakan nasional.

Integrasi ini membawa perubahan mendasar dalam cara kerja administrasi pajak. Dengan Single Profile Policy, verifikasi identitas wajib pajak dapat dilakukan secara otomatis melalui real-time database yang terhubung antara DJP, Dukcapil, dan lembaga keuangan. Sebelumnya, verifikasi data untuk wajib pajak baru bisa memakan waktu hingga 3–5 hari kerja, kini dapat dipangkas menjadi kurang dari 24 jam.

Proses pelaporan pajak juga menjadi lebih efisien karena sistem mampu mengenali identitas wajib pajak melalui satu nomor tunggal, tanpa perlu entri data manual. Bagi wajib pajak orang pribadi, manfaat langsungnya berupa penurunan biaya kepatuhan administratif hingga 15–20 persen, menurut riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI, 2024). Pengurangan biaya ini berasal dari berkurangnya waktu dan dokumen fisik yang dibutuhkan untuk registrasi, pelaporan, dan pengarsipan pajak tahunan.

Lebih jauh, SPP menjamin keadilan fiskal dan ketepatan sasaran kebijakan ekonomi. Contohnya, PMK 72/2025 mengatur bahwa insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) hanya diberikan kepada pegawai berpenghasilan di bawah Rp10 juta per bulan yang telah terdaftar melalui NIK atau NPWP terintegrasi.

Melalui sistem ini, pemerintah memastikan anggaran Rp5,6 triliun tersalurkan tepat sasaran kepada 2,3 juta pekerja sektor padat karya, menjaga daya beli rumah tangga dan mencegah potensi PHK massal. Dengan fondasi data yang kuat, Indonesia tengah menapaki era baru perpajakan berbasis kepercayaan, di mana kepatuhan tumbuh bukan karena kewajiban, tetapi karena sistem yang adil, sederhana, dan dipercaya publik.

Dampak nyata ekonomi

Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: apakah Single Profile Policy hanya sekadar pembenahan administratif, atau memiliki dampak ekonomi nyata bagi negara?

Jawabannya jelas bahwa kebijakan ini bukan hanya soal tata kelola data, tetapi memiliki efek ekonomi yang signifikan, meski tidak instan.

Dengan adanya basis data yang bersih dan terintegrasi, Direktorat Jenderal Pajak dapat menemukan wajib pajak yang selama ini tidak terlayani atau belum terdeteksi oleh sistem. Perluasan basis pajak yang teradministrasi dengan baik dapat meningkatkan penerimaan tanpa harus menaikkan tarif pajak, langkah yang secara politik lebih mudah diterima publik.

Lebih jauh, data tunggal memungkinkan DJP untuk merancang strategi kepatuhan yang lebih personal dan berbasis perilaku mulai dari pengiriman reminder elektronik, kampanye edukatif berdasarkan segmen wajib pajak, hingga penegakan hukum yang lebih tertarget bagi pelanggar berat. Pendekatan ini menumbuhkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) yang menjadi fondasi keberlanjutan sistem perpajakan modern.

Dari sisi fiskal, kebijakan berbasis data seperti SPP juga meningkatkan efektivitas program insentif ekonomi, sebagaimana terlihat dalam PMK Nomor 72 Tahun 2025 tentang perluasan insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Dengan data tunggal, pemerintah dapat memastikan insentif benar-benar diterima oleh kelompok berpenghasilan rendah yang membutuhkan dukungan daya beli.

Dampak ekonominya bersifat berganda (multiplier effect), karena setiap tambahan pendapatan di tangan pekerja langsung berkontribusi terhadap konsumsi sebagai komponen yang menyumbang lebih dari 53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Simulasi Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa setiap Rp1 triliun insentif fiskal yang disalurkan secara tepat sasaran dapat menghasilkan tambahan output ekonomi senilai Rp1,6 hingga Rp1,8 triliun. Dengan demikian, penguatan administrasi pajak bukan hanya mendukung penerimaan negara, tetapi juga menjadi instrumen counter-cyclical yang menjaga pertumbuhan di tengah pelemahan ekonomi global dan fluktuasi penerimaan pada awal 2025.

Selain memperkuat penerimaan, SPP juga menutup celah kebocoran pajak dan meningkatkan kepatuhan teknis. Dengan data identitas yang terintegrasi, audit dan pemeriksaan pajak dapat diarahkan pada area berisiko tinggi secara lebih presisi, sehingga mengurangi praktik manipulasi data dan penghindaran pajak yang selama ini sulit dideteksi akibat adanya identitas ganda.

Dalam jangka menengah, kombinasi antara reward dan enforcement berbasis data ini diharapkan mampu menurunkan tax gap nasional yang saat ini masih diperkirakan berada di kisaran 33–35 persen ke level di bawah 30 persen pada tahun 2027.

Namun, tentu saja manfaat besar tersebut datang dengan konsekuensi investasi awal: penguatan infrastruktur TI, pengamanan data pribadi, pelatihan aparatur, dan peningkatan literasi publik tentang hak dan kewajiban perpajakan. Biaya reformasi ini tidak kecil, tetapi merupakan investasi jangka panjang menuju sistem perpajakan yang lebih kredibel, transparan, dan berpihak pada pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Mengawasi jalan ke depan

Setiap kebijakan digitalisasi administrasi publik selalu membawa dua sisi mata uang: efisiensi dan risiko. Begitu pula dengan penerapan Single Profile Policy (SPP) dalam sistem perpajakan nasional.

Di satu sisi, kebijakan ini membuka peluang besar untuk mempercepat layanan, menekan biaya operasional, serta meningkatkan transparansi dan akurasi data fiskal. Namun, di sisi lain, ia juga menuntut tata kelola data yang matang, perlindungan privasi yang ketat, dan kesiapan institusional yang tinggi.

Integrasi antara data kependudukan (NIK) dan data fiskal (NPWP) menjadikan informasi yang dimiliki pemerintah jauh lebih sensitif. Bila tidak dikelola dengan baik, risiko kebocoran atau penyalahgunaan data bisa menjadi bom waktu yang bukan hanya merusak reputasi institusi seperti DJP atau Kementerian Keuangan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Karena itu, penerapan kebijakan ini harus dibarengi dengan standar keamanan siber berlapis, enkripsi data tingkat tinggi, sistem audit akses yang transparan, serta mekanisme pengaduan dan pemulihan (redress mechanism) bagi warga yang datanya mungkin disalahgunakan.

Tantangan berikutnya ada pada aspek integrasi administratif dan teknis. Proses penggabungan data antara Dukcapil dan DJP bukan sekadar urusan teknologi, tetapi juga soal harmonisasi tata kelola dan penyamaan standar operasional antarinstansi. Setiap lembaga memiliki format, arsitektur data, dan mekanisme pembaruan berbeda; menyatukannya memerlukan waktu, biaya, serta komitmen lintas kelembagaan.

Diperlukan standardisasi data, peningkatan interoperabilitas sistem, serta pembenahan proses bisnis agar sinkronisasi berjalan otomatis dan berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem digital ini tidak hanya berfungsi di pusat, tetapi juga dapat diakses secara merata hingga ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di daerah. Dengan demikian, manfaat integrasi benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas, bukan hanya di level kebijakan.

Di sisi lainnya, Single Profile Policy juga menuntut pengawasan dan evaluasi yang terukur. Penting bagi pemerintah untuk membangun indikator yang mampu menilai efektivitas kebijakan secara objektif, seperti peningkatan jumlah wajib pajak terdaftar, pertumbuhan pelaporan SPT Tahunan, penurunan tax gap, hingga dampaknya terhadap pendapatan rumah tangga berpenghasilan rendah.

Berdasarkan analisis DDTC News (2025), meskipun jumlah wajib pajak formal meningkat hampir 6 persen pada awal 2025, rasio pelaporan SPT baru mencapai 62,3 persen, menunjukkan masih adanya kesenjangan kepatuhan.

Artinya, integrasi NIK–NPWP tidak boleh berhenti pada perubahan label administratif semata, tetapi harus menghasilkan perbaikan nyata dalam perilaku kepatuhan dan efektivitas penerimaan negara. Evaluasi berkala dan publikasi hasilnya menjadi bagian penting dari transparansi fiskal agar publik dapat menilai sejauh mana kebijakan digital ini benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka.

*) Dr. M. Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi










Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sinergi meningkatkan kepatuhan pajak melalui Single Profile Policy

Pewarta :
Editor: Wening Caya Ing Tyas
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.