Peningkatan "parliamentary threshold" tidak cukup memperkuat presidensialisme

id parlemen

Peningkatan "parliamentary threshold" tidak cukup memperkuat presidensialisme

Gedung DPR-RI (foto parlementaria.wordpress.com)

Jakarta (ANTARA Jogja) - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Hasrul Hanif mengatakan, meskipun peningkatan ambang batas kursi di parlemen atau "parliament trheshold" menjadi 3,5 persen merupakan langkah positif, tetapi belum memadai untuk memperkuat sistem presidensialisme.

"Kenaikan PT langkah paling mudah untuk menyederhanakan partai, memang presidensialisme hanya efektif dalam sistem yang sederhana. Namun demikian, hal itu tidak mencukupi untuk memastikan sistem presidensialisme berjalan efektif," katanya kepada ANTARA, Jumat.

Hasrul Hanif mengatakan, hubungan presiden dan parlemen merupakan salah satu hal yang penting untuk dibenahi, mengingat pengalaman selama ini yang memperlihatkan hubungan saling menyandera antara presiden dan parlemen.

"Bagaimana memastikan agar 'check and balances' dalam hubungan presiden dan parlemen, tapi tidak saling menyadera. Dalam konteks itu bisa memastikan, langkah awal memastikan lebih sehat, bukan saling sandera akhirnya," katanya.

Selain itu, kepemimpinan juga merupakan faktor penting dalam memastikan presiden bekerja efektif dalam sistem presidensialisme.

"Tanpa kepemimpinan yang memadai, sistem presidensialisme juga tidak akan efektif bekerja," katanya.

Untuk itu, menurut dia, penguatan presidensialisme tidak cukup dibebankan kepada UU Pemilu yang telah disetujui DPR untuk disahkan oleh pemerintah namun perlu langkah-langkah lanjutan.

DPR telah meyetujui UU Pemilu untuk disahkan pemerintah.  Dalam UU Pemilu tersebut, ambang batas kursi di parlemen telah dinaikkan dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen. Kenaikan PT tersebut akhirnya dapat dicapai setelah melalui sidang yang alot di DPR.

Peningkatan PT tersebut, menurut DPR untuk menyederhanakan partai politik guna mendukung sistem presidensialisme.(T.M041)