Menteri Kabinet Kerja hadiri pengukuhan Guru Besar Cornelis Lay (VIDEO)

id cornelis,ugm,kabinet

Menteri Kabinet Kerja hadiri pengukuhan Guru Besar Cornelis Lay (VIDEO)

Pakar politik dan pemerintahan Cornelis Lay saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Rabu (Foto Antara/ Luqman Hakim)

Yogyakarta (Antaranews Jogja)- Sejumlah menteri Kabinet Kerja menghadiri acara pengukuhan pakar politik dan pemerintahan Cornelis Lay sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Rabu.
    
Hadir dalam pengukuhan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Wamen ESDM Archandra Tahar, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, serta Rektor UGM Panut Mulyono.
    
Sementara itu, dari kalangan politisi yang juga hadir, antara lain Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat, serta Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.
    
Dalam acara pengukuhan itu, Profesor Cornelis Lay menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan".
    
"Saya meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan lahir dan bertumbuh di atas  cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan," kata Cornelis.
    
Menurut Cornelis, kekuasaan dan ilmu pengetahuan pada dasarnya mampu berjalan berdampingan di tengah pesimisme yang berkembang.
    
Kaum intelektual, menurut dia, bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan.
 
    
Sebagaimana fungsi "resi", menurut dia, kaum intelektual yang hadir hanya dalam situasi darurat dalam rangka memperbaiki.
     
Meski demikian, Cornelis mengakui cukup banyak intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali bagitu mereka berada dalam kekusaaan. "Mereka seakan tersesat di rimba raya politik yang tak bertepian," kata dia.
    
Di sisi lain, menurut dia, ada pula intelektual yang sangat traumatik terhadap pada politik sehingga cenderung menghindarinya. Bahkan, sebagian lainnya sejak dini telah mengharamkan dunia politik yang digambarkan secara "stereotyping" sebagai dunia kotor.
     
Bagi Cornelis, tantangan terbesar seorang intelektual bukan pada kemampuan dan kesiapannya dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual yakni berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.
     
Menurut dia, hal itu perlu digarisbawahi karena cukup banyak intelektual yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
      
"Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana pemikiran  atau usulannya tidak diakomodasi," kata dia.
     
Tjahjo Kumolo sepakat dengan isi pidato Cornelis. Menurut dia, antara birokrat dan kaum intelektual sama-sama memiliki peran memberikan pencerahan kepada masyarakat, kepada kelompok, bangsa, dan negara.
     
Untuk mempercepat reformasi birokrasi serta otonomi daerah, menurut dia, mau tidak mau tetap memerlukan campur tangan dari para intelektual. "Harus ada campur tangan baik diminta atau tidak dari kelompok intelektual. Dalam aspek kemanusiaan jangan dilihat ini suatu yang tabu, suatu yang mengganggu gengsi intelektual atau gengsi birokrasi," kata dia.


 
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024