Akademisi UGM : Strategi campuran untuk hadapi tarif impor 32 persen

id Sleman,UGM,Tarif Impor 32 persen

Akademisi UGM : Strategi campuran untuk hadapi tarif impor 32 persen

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM Muhammad Edhie Purnawan. (ANTARA/HO-feb.ugm.ac.id)

Sleman (ANTARA) - Akademisi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Muhammad Edhie Purnawan menilai Pemerintah Indonesia perlu menerapkan strategi campuran antara diplomasi ekonomi, diversifikasi, dan dukungan domestik dalam menghadapi tarif impor 32 persen dari Amerika Serikat.

Muhammad Edhie Purnawan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa mengatakan, Indonesia memilih jalur diplomatik, menghindari retaliasi, dengan revitalisasi TIFA untuk membahas hambatan perdagangan (konsisten dengan pernyataan Presiden Prabowo saat panen padi di Majalengka, 7 April 2025), dan presiden menekankan pentingnya hubungan baik yang setara.

"Indonesia wajib mempersiapkan diri secermat mungkin, terutama melalui Bank Indonesia, untuk mengendalikan volatilitas mata uang dan mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan bersama Indonesia-AS, seperti penyediaan bahan baku atau investasi, dan dalam rangka konsesi tarif dan menyelamatkan porsi perekonomian yang lebih besar," katanya

Menurut dia, deregulasi non-tariff measures (NTMs), seperti relaksasi persyaratan kandungan lokal untuk perusahaan ICT AS (GE, Apple, Oracle, Microsoft) berpotensi untuk menawarkan insentif fiskal seperti pemotongan bea masuk, pajak penghasilan, dan PPN, menjadi insentif bagi perusahaan-perusahaan AS.

Diversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, Eropa, Timur Tengah, dan bergabung dalam CPTPP atau BRICS, mengurangi ketergantungan pada AS, sesuai strategi exit option dalam game theory. Kolaborasi dengan Malaysia sebagai ketua ASEAN 2025 untuk respons kolektif terhadap tantangan perdagangan global harapan besar dalam pendekatan multilateral.

"Dukungan ke industri terdampak melalui insentif pajak dan pelatihan ulang, serta stimulus fiskal untuk dorong konsumsi dalam negeri, stabilkan ekonomi domestik," katanya.

Lebih lanjut, Muhammad Edhie Purnawan mengatakan, dengan pasar global unstable, Pemerintah Indonesia harus berkoordinasi dengan negara-negara lain, seperti dalam ASEAN, untuk respons kolektif dan mencari alternatif kerja sama ekonomi, mengingat penurunan indeks pasar global seperti FTSE 100 dan Nikkei 225.

Negara-negara dunia sebaiknya fokus pada peningkatan perdagangan di antara mereka, terutama di sektor layanan, yang relevan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor barang ke AS.

"Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini dengan memperkuat sektor digital dan layanan, yang kurang terkena dampak tarif AS, dan mencari perjanjian dagang baru seperti CPTPP untuk memperluas akses pasar," kata Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM ini.

Dari perspektif game, lanjut dia, hal ini adalah permainan berulang (repeated game) di mana Indonesia perlu memilih strategi campuran antara kooperasi (diplomasi ekonomi) dan kompetisi (diversifikasi).

Negosiasi dapat membantu mencapai ekuilibrium yang lebih menguntungkan, sementara diversifikasi adalah strategi minimax untuk mengurangi risiko jika negosiasi menghadapi jalan buntu.

"Demikian pula, jika AS menggunakan tarif sebagai langkah awal Tariff Chaos untuk meleverage negosiasi, diikuti oleh tarif resiprokal dan "Mar-a-Lago Accord" (ide strategik yang dinamai berdasarkan resor milik Donald Trump di Florida, yang muncul sebagai wacana untuk merestrukturisasi sistem perdagangan global), untuk penyesuaian mata uang," katanya.

Muhammad Edhie Purnawan juga mengatakan, untuk meyakinkan publik dan pelaku di sektor jasa keuangan, Pemerintah Indonesia perlu menggunakan framework signaling dalam game dengan informasi yang tidak lengkap (a signaling framework in games with incomplete information). Komunikasi terbuka, menyampaikan rencana seperti diplomasi aktif melalui TIFA, deregulasi NTMs, dan peningkatan impor dari AS, menunjukkan kontrol situasi.

Pernyataan Presiden Prabowo, "Kita tenang, kita punya kekuatan," menyoroti kekuatan pertanian dan ekonomi domestik, perlu diperkuat dengan data, penting meyakinkan masyarakat.

"Pelajari dengan cepat peluang seperti pangsa pasar untuk pakaian dan alas kaki, serta potensi besar dari relokasi investasi," katanya.

Menurut dia, kebijakan stabilisasi nilai tukar menggunakan DHE, menjawab kritik USTR soal retention rigidities, menunjukkan fleksibilitas dan kekuatan Indonesia.

Koordinasi dengan ASEAN dan negara besar lain untuk aksi kolektif, mengurangi tekanan isolasi, menggunakan data untuk menunjukkan dampak minimal, seperti tarif Indonesia ke AS rendah (0–5 persen), sangat diperlukan untuk menekankan kesetaraan.

Dalam konteks pasar global yang bergejolak, pemerintah perlu menjelaskan bagaimana Indonesia bersiap menghadapi tantangan eksternal, termasuk volatilitas indeks seperti S&P 500 dan Dow Jones.

"Dalam teori permainan, hal ini cukup penting (ini dinamai signaling game), bagi pemerintah untuk membangun reputasi yang lebih kredibel agar kepercayaan publik dan investor terjaga, sehingga kita mampu mempertahankan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global," kata Muhammad Edhie Purnawan.

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2025