FKKMK UGM luncurkan "Zero Tuberculosis Yogyakarta"

id Tuberkulosis

FKKMK UGM luncurkan "Zero Tuberculosis Yogyakarta"

Jumpa pers soft launching "Zero Tuberculosis Yogyakarta" yang digagas Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM di Kampus UGM, Selasa (12/3) (Foto Antara/Luqman Hakim)

Yogyakarta (ANTARA) - Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM melakukan "soft launching" atau peluncuran awal program "Zero Tuberculosis Yogyakarta" untuk mendukung pengendalian penyakit tuberculosis (TB) secara komprehensif dan intensif di daerah itu.

Ketua Panitia Soft Launching "Zero Tuberculosis Yogyakarta" Rina Triasih saat jumpa pers di Kampus UGM, Selasa, mengatakan untuk tahap awal program itu akan diimplementasikan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo dengan melakukan screening secara aktif untuk menemukan warga penderita TB di daerah itu.

"Selama ini kita hanya menunggu pasien TB di rumah sakit. Sekarang kita akan aktif melakukan screening," kata Rina.

Menurut Rina, Kota Yogyakarta dipilih sebagai target dalam program itu karena selama ini jumlah penderita TB di Kota Yogyakarta tertinggi di DIY. Sedangkan Kulon Progo, selain memiliki jumlah pendirita TB cukup tinggi juga dipilih untuk mewakili kawasan perdesaan.

Dalam program tersebut, ia menjelaskan, petugas akan aktif berkeliling mendata warga yang memiliki gejala TB. Setelah ditemukan warga penderita atau memiliki gejala TB akan langsung diberikan pengobatan disertai upaya pencegahan.

"Kami menargetkan dalam waktu lima tahun sejak 2019 bisa menurunkan (angka TB) 60 persen," kata dia.

Apabila berhasil, ia berharap program yang melibatkan Burnet Institute Australia dan Interactive Research and Development (IRD) itu bisa memberikan contoh bagi kabupaten lain serta dapat terapkan di tingkat nasional.

Ia mengatakan untuk menyosialisasikan program itu, Pemkot Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan menggandeng para remaja di pondok pesantren dan sekolah. Di Kulon Progo, santri pondok pesantren akan dijadikan kader pencegahan TB, demikian juga di Kota Yogyakarta siswa-siswa sekolah juga akan dilibatkan untuk menyosialisasikan pencegahan TB.

"Pesantren berisiko tinggi (kasus TB) karena satu kamar dihuni banyak orang. Di Perumahan di kawasan Sungai Code juga demikian karena rumah satu dengan lainnya berhimpitan," kata dia.

Menurut dia, kalangan remaja perlu dilibatkan dalam program itu karena kasus TB di kalangan remaja usia 11-18 tahun trennya meningkat. Jika tidak memahami risiko penularannya, satu anak yang terkena TB bisa menulari teman-teman lainnya dalam satu kelas. "Kalau TB itu sakitnya baru kelihatan 1 sampai 2 tahun kemudian," kata dia.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kulon Progo Baning Rahayujati mengapresiasi dan mendukung program itu. Selama ini, ia mengaku menghadapi banyak kendala untuk menemukan warga pemderita TB di Kulon Progo. "Karena TB juga memerlukan pengobatan jangka panjang, kami juga mengalami kendala putus obat. Pada 2018 kami juga baru menemukan 253 kasus TB atau baru 60 persen dari target," kata dia.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Kesra Wali Kota Yogyakarta  Wirawan Hario Yudo berharap melalui program itu penanganan kasus TB di Kota Yogyakarta bisa lebih efektif. "Sehingga nanti tidak terjadi fenomena gunung es yang kelihatan hanya beberapa tetapi di bawahnya jumlahnya luar biasa," kata Hario.***3***
 
Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2024