Jakarta (ANTARA) - Pemerintah bakal menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026. Salah satu terobosan besar dalam regulasi anyar ini adalah pendekatan keadilan restoratif terhadap pengguna narkotika, namun upaya pemulihan ini terancam gagal bila tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas rehabilitasi secara signifikan.
Data per April 2024 menunjukkan, lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia menampung 271.385 narapidana dan tahanan, jauh melampaui kapasitas seharusnya yang hanya 140.424 orang. Artinya, terjadi kelebihan kapasitas hingga 93,26 persen.
Yang mengkhawatirkan, sebanyak 52,97 persen penghuni penjara terjerat kasus penyalahgunaan narkoba, atau sekitar 135.823 orang.
Dalam KUHP baru, pengguna narkoba nantinya tidak lagi dipidana penjara, melainkan menjalani proses rehabilitasi. Kebijakan ini juga diperkuat dengan rencana pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana, sebagian besar dari kalangan pengguna narkotika.
Namun, pendekatan ini memunculkan tantangan baru. Sebab, tempat rehabilitasi di Indonesia masih sangat terbatas.
Baca juga: Lindungi generasi muda, Pemkab Gunungkidul sosialisasikan bahaya narkoba
Menurut penelitian pakar hukum narkotika Sulistiandriatmoko, beberapa penyidik Polri mengaku lebih memilih menahan pengguna narkotika ketimbang menetapkan rehabilitasi karena di daerah mereka tidak ada tempat rehabilitasi.
"Apabila menetapkan pasal sangkaan hukuman rehabilitasi, maka konsekuensinya penyidik Polri harus mengantar ke tempat rehabilitasi di luar daerah yang memerlukan biaya akomodasi dan transportasi, sementara anggaran untuk mendukung kegiatan tersebut tidak ada," ungkapnya.
Padahal, menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), saat ini Indonesia memiliki 216 fasilitas rehabilitasi, dan bermitra dengan 649 lembaga lainnya, termasuk 257 Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat (LRKM). Namun, angka tersebut masih jauh dari ideal, mengingat jumlah penyalahguna narkotika di Indonesia mencapai 3,3 juta orang.
Kepala BNN, Komjen Pol Marthinus Hukom, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pihak untuk memperluas akses rehabilitasi.
“Peran serta masyarakat melalui Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) menjadi pilar penting dalam peningkatan layanan rehabilitasi,” ujarnya.
Baca juga: 188 kg sabu diseludupkan lewat laut dan disembunyikan di kebun sawit
IBM saat ini telah dibentuk di 418 unit, dengan 2.217 agen pemulihan. BNN juga terus meningkatkan kompetensi dan sertifikasi petugas rehabilitasi agar layanan yang diberikan lebih profesional.
Selain itu, BNN mendorong penguatan Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, Polri, Kejaksaan, BNN, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengoptimalkan proses asesmen dan penerapan rehabilitasi bagi pecandu serta korban penyalahgunaan narkotika.
Dari sisi regulasi, diperlukan penguatan perundang-undangan, termasuk revisi atau penyusunan baru pada level UU, PP, Perpres, hingga Permen, demi menjamin dukungan anggaran dan kelembagaan yang memadai.
Saat ini, BNN mencatat sebanyak 367 lembaga rehabilitasi telah memenuhi Standar Rehabilitasi Nasional, dan terus berupaya mencapai target nasional sesuai amanat Instruksi Presiden Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional P4GN.
Dalam skala individu, rehabilitasi yang baik dapat membantu penyalahguna pulih secara fisik, mental, dan sosial, sehingga bisa kembali ke masyarakat. Dalam skala nasional, rehabilitasi mampu mengurangi kepadatan lapas, menekan angka residivis, dan menjadi pilar penting penanganan masalah narkotika secara manusiawi.
Baca juga: Modus baru peredaran narkoba: sabu dalam kemasan teh china terungkap
Baca juga: Kepala BNN tegaskan pengguna narkoba yang melapor tak boleh dihukum
Baca juga: 7,4 ton narkoba berhasil dicegah masuk Indonesia sepanjang 2024
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perbanyak fasilitas rehabilitasi narkoba jelang implementasi KUHP baru