Menata mental
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto mengatakan bahwa kejadian-kejadian ini mencederai rasa keadilan, martabat kemanusiaan, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan kedokteran serta RS sebagai tempat belajar dan memberikan pelayanan.
Peristiwa-peristiwa itu bukan kasus individual semata, sehingga perlu ada perbaikan secara sistematis untuk menangani sejumlah permasalahan yang mendasar, contohnya beban mental dan finansial. Kemendiktisaintek pun berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan membentuk komite bersama untuk menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan di pendidikan kedokteran.
Dari Kementerian Kesehatan, ada sejumlah inisiatif signifikan yang bakal dilaksanakan, yakni pengecekan kesehatan mental secara berkala, yakni enam bulan sekali. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun memberi mandat bagi para direktur rumah sakit pendidikan kesehatan untuk rutin bertemu langsung dengan para peserta, untuk melihat kondisi para pelajar itu serta mengintervensi apabila ada risiko atau masalah yang muncul.
Bahkan, dia mengungkapkan komitmennya untuk meluangkan waktunya guna bertemu dengan para peserta dan memastikan kesejahteraan mental dan fisik mereka.
Baca juga: Hari Kartini: Refleksi atas ketimpangan perempuan di ruang publik
Pembenahan lainnya yakni dengan memberikan Surat Izin Praktik (SIP) bagi para peserta PPDS agar bisa bekerja sebagai dokter umum. Hal ini karena para peserta umumnya sudah berkeluarga, dan selama belajar mereka tidak mendapatkan penghasilan, sehingga beban finansial mereka bertambah.
Dengan SIP itu, para peserta bisa mendapatkan pemasukan, baik ketika belajar di rumah sakit maupun di luar jam pendidikan, sehingga diharapkan bisa mengurangi beban finansial. Poin inilah yang berhubungan dengan penegasan Kementerian Kesehatan bahwa jam kerja 80 jam per minggu adalah batas maksimal dan tidak boleh dilampaui, namun demikian bukan berarti waktu bekerja dan pendidikan harus penuh 80 jam itu.
Menurut Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Azhar Jaya, dengan waktu kerja 80 jam per minggu, masih memungkinkan seorang dewasa normal untuk mendapatkan waktu istirahat yang cukup, yakni 5-6 jam, atau 8 jam jika memungkinkan.
Alasan mengapa angka maksimal tersebut ditetapkan adalah untuk mempercepat proses pendidikan. Ada kalanya sebuah kasus yang bagus untuk dipelajari muncul di luar jam pendidikan, sehingga peserta dipanggil untuk turut mempelajari.
Tapi, Menkes tetap meminta bahwa jika dalam satu hari peserta bekerja overtime, maka hari berikutnya harus libur untuk istirahat.
Baca juga: PSW UGM : Pendidikan seksual sejak dini cegah pelecehan seksual
Untuk memastikan peserta tetap fokus belajar agar menjadi dokter spesialis yang handal dan berkualitas, pengawasan juga semakin ditingkatkan, guna memastikan bahwa konsulennya yang mengajar, bukan seniornya. SOP juga diperbaiki. Tidak lagi para peserta disuruh-suruh membawa spesimen lab, dan ruangan kosong di RS harus dikunci untuk mencegah penyalahgunaan.
Kemenkes juga merespon kelanjutan kasus bullying berujung maut dari Semarang, dan menyebut akan mendalaminya lebih jauh. Diketahui, ZYA, tersangka yang melakukan perundungan terhadap dr. Aulia Risma Lestari, bisa mengikuti ujian kompetensi bahkan lulus dengan cepat, padahal statusnya tersangka dan masih dalam proses pidana.
Dalam surat tertanggal 18 April 2025, Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif Reza Widianto Sudjud menyatakan bahwa sertifikat kompetensi ZYA ditunda untuk diberikan sehubungan dengan kasus tersebut.
Baca juga: Lakukan pelecehan seksual, oknum polisi diamankan
Sejauh ini, Kementerian Kesehatan telah membekukan tiga program studi dokter spesialis, yakni prodi anestesi di Rumah Sakit Kariadi, prodi penyakit dalam di Rumah Sakit Kandou, dan prodi anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hal ini sebagai salah satu upaya evaluasi sistem pendidikan.
Orang bijak berkata, "waktu terbaik pertama untuk memulai adalah kemarin, dan waktu terbaik kedua untuk memulai adalah sekarang."
Dokter sering disebut-sebut sebagai penyelamat jiwa, dan sekarang adalah waktu yang tepat bagi bangsa untuk menyelamatkan jiwa para calon dokter spesialis ini, sebelum bakat dan niat luhur mereka hangus oleh sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah.
Baca juga: Pelaku penyanderaan anak melakukan pencabulan terhadap korban
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengobati luka menganga dalam pendidikan dokter spesialis