Urgensi akan evaluasi
Sejak kasus kekerasan seksual di RSHS, banyak yang menyoroti perlunya pembenahan sistem pendidikan ini. Yang paling banyak ditekankan adalah evaluasi tentang akses ke obat-obat anestesi, solusi bagi status ambigu para peserta yang belajar sambil bekerja, kejelasan prosedur operasional standar (SOP), hingga pemantauan kondisi kejiwaan secara berkelanjutan.
Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr. Puspita Wijayanti mengatakan perlunya pemantauan kejiwaan secara berkelanjutan, karena tes psikologi yang dilakukan saat rekrutmen atau seleksi hanya memberikan gambaran kesehatan jiwa pada momen pengerjaan saja.
Menurut dia, hal itu tidak dapat memprediksi kondisi psikis di kemudian hari, setelah para peserta diberatkan oleh beban emosional dari pasien, jam kerja panjang, kompetisi, hingga hubungan antarhierarki yang alot. Ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi, dan jika diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal.
Oleh karena itu, perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.
Baca juga: Kemenkes hentikan sementara Program Specialis Anestesi RSHS usai kasus pelecehan
Terkait status ambigu para peserta PPDS, secara hukum, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) adalah peserta pendidikan klinik lanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Rumah Sakit Pendidikan.
Para peserta masuk ke rumah sakit bukan sebagai pegawai tetap, melainkan untuk menjalani rotasi pembelajaran praktik profesional. Namun pada kenyataannya, para peserta bekerja layaknya dokter definitif, yang memegang wewenang klinis, mengakses data pasien, hingga memutuskan tindakan yang terkadang tanpa pengawasan yang layak.
Puspita menilai, ketika peserta didik diberi beban dan akses pelayanan, tapi tidak diletakkan dalam sistem otorisasi dan pengawasan yang ketat, maka lahirlah area abu-abu mengenai tanggung jawab klinis.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto juga menggarisbawahi perlunya membatasi waktu kerja atau pendidikan residen. Dia selalu menekankan untuk membatasi waktu maksimal 40-50 jam kerja atau belajar per minggunya.
Slamet juga menyebutkan perlunya SOP yang jelas terkait penanganan atau pemeriksaan lab, bius, dan semacamnya, dan tidak boleh memeriksa pasien sendirian.
Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) juga mendorong penguatan sistem etika, termasuk SOP interaksi antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga pasien. Rumah sakit pendidikan harus memiliki standar etik dan pengawasan yang tegas dalam kesehariannya.