Potensi penerimaan pajak kripto tembus Rp600 miliar per tahun

id pajak kripto,pajak,kripto,PMK 50/2025,djp,ditjen pajak,kemenkeu

Potensi penerimaan pajak kripto tembus Rp600 miliar per tahun

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyampaikan paparan saat media briefing terkait PMK 50, PMK 51, dan PMK 53 Tahun 2025 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis (31/7/2025). Media briefing tersebut membahas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 50 Tahun 2025 tentang PPN dan PPh atas transaksi aset kripto, PMK 51 Tahun 2025 tentang PPh Pasal 22 atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha bidang lain, dan PMK 53 Tahun 2025 tentang Perubahan PMK No 11 Tahun 2025. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/sgd

Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut potensi penerimaan pajak kripto mencapai Rp600 miliar per tahun.

"Sepanjang 2-3 tahun semenjak peluncurannya, perkembangan dari penerimaan kripto ini terus meningkat. Kalau tidak salah, penerimaannya ada di antara kisaran Rp500 miliar hingga Rp600 miliar per tahun," kata Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto dalam taklimat media di Jakarta, Kamis malam.

Berdasarkan laporan terakhir DJP, penerimaan pajak kripto secara akumulasi telah terkumpul sebesar Rp1,2 triliun sampai dengan Maret 2025.

Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan 2022, Rp220,83 miliar penerimaan 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp115,1 miliar penerimaan 2025.

Sebanyak Rp560,61 miliar bersumber dari pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dan Rp642,17 miliar dari pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri.

Teranyar, Kemenkeu menetapkan tarif baru pajak kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang berlaku pada 1 Agustus 2025, seiring dengan perubahan sifatnya menjadi aset keuangan digital.

Lewat aturan itu, kripto dibebaskan dari pengenaan PPN lantaran dianggap setara dengan surat berharga.

Sedangkan, untuk PPh 22, tarif ditetapkan sebesar 0,21 persen untuk pungutan yang dilakukan oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dan 1 persen untuk pungutan oleh PPMSE luar negeri atau penyetoran mandiri.

Tarif itu lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya. Saat kripto ditetapkan sebagai komoditas, PPh 22 ditetapkan sebesar 0,1 persen dari transaksi yang dilakukan di exchange atau PPMSE terdaftar Bappebti dan 0,2 persen dari transaksi di PPMSE tidak terdaftar Bappebti.

Menurut Bimo, kenaikan tarif PPh 22 final bertujuan untuk mengompensasi hilangnya penerimaan PPN.

Terkait potensi penerimaan seiring dengan aturan baru, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pergerakan harga serta tren permintaan akan memengaruhi peluang setoran.

"Kalau kripto itu kan sangat fluktuatif, jadi akan sangat bergantung di situ. Bisa melonjak, bisa turun. Bergantung dari permintaannya seperti apa," ujar Yoga.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak DJP Yon Arsal menambahkan pengenaan tarif pajak kripto yang lebih tinggi bertujuan untuk mendorong industri kripto dalam negeri tumbuh dan berkembang.

"Orang-orang kami harapkan ikut terlibat di dalam perdagangan dalam negeri," lanjut Yon.

Namun, ia membuka peluang evaluasi tarif pajak kripto ke depannya. Kemenkeu akan melibatkan dan mendengar saran dari pelaku pasar dalam proses evaluasi tarif pajak kripto.

"Tarif akan selalu kami cermati dan evaluasi dari waktu ke waktu. Tentu kami akan mendengarkan suara dari pasar dan pemangku kepentingan terkait," tuturnya.

Pewarta :
Editor: Eka Arifa Rusqiyati
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.