Yogyakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata ruang dan bangunan gedung Univeristas Ahmad Yani Yogyakarta Muhammad Zaki Mubarrak menilai tragedi robohnya bangunan Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo bukan semata-mata akibat kegagalan konstruksi, melainkan cerminan lemahnya pengawasan tata ruang dan absennya kepatuhan administratif dalam pembangunan fasilitas publik.
Menurutnya langkah investigasi tidak boleh berhenti pada aspek teknis konstruksi, tetapi harus menelusuri izin mendirikan bangunan (PBG/IMB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), serta kesesuaian bangunan dengan rencana tata ruang daerah.
“Perlu diperiksa apakah bangunan tersebut memiliki PBG dan SLF, termasuk apakah penambahan lantai dilakukan dengan persetujuan teknis. Jika tidak, itu indikasi kuat adanya kelalaian administratif yang berdampak fatal,” ujar Zaki, Kamis (9/10).
Kurangnya koordinasi antara dinas terkait di tingkat daerah, katanya, juga menjadi salah satu penyebab masalah ini. Banyak fasilitas pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, dibangun tanpa dasar legal yang jelas, sehingga tidak terjangkau oleh pengawasan negara. Hal ini menyebabkan penegakan hukum yang lemah terhadap lembaga-lembaga keagamaan.
Selain itu, pengawasan bangunan harus melibatkan masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap bangunan memenuhi standar keselamatan yang ditetapkan, dengan melibatkan masyarakat dalam proses kontrol. Keterlibatan publik dalam pengawasan akan memastikan bahwa bangunan yang digunakan oleh publik aman dan sesuai standar.
Ia juga menekankan pentingnya kepatuhan terhadap peraturan tata ruang. Ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dapat berakibat fatal, dengan sanksi yang mencakup denda hingga Rp8 miliar dan pidana penjara hingga 15 tahun. Semua pihak yang terlibat, mulai dari pengelola hingga pejabat perizinan, harus bertanggung jawab apabila terbukti lalai hingga menyebabkan korban jiwa.
Menurutnya regulasi yang ada saat ini belum cukup melindungi keselamatan publik di fasilitas keagamaan seperti pesantren. Negara perlu memperkenalkan mekanisme regulasi yang lebih ketat dan menyediakan pendampingan teknis untuk memastikan setiap bangunan memenuhi standar keselamatan yang memadai.
Sebagai langkah evaluasi, Ia merekomendasikan audit struktural independen pascatragedi, inventarisasi bangunan pendidikan publik berbasis teknologi SIMBG dan GIS, serta penguatan kewajiban SLF sebelum bangunan dioperasikan.
"Tragedi Ponpes Al-Khoziny harus menjadi titik balik bagi perbaikan tata kelola ruang di Indonesia demi keselamatan publik," tutupnya.
