Jakarta (ANTARA) - Benjolan di leher sering kali dianggap sebagai gejala flu biasa. Padahal, tidak semua benjolan berkaitan dengan infeksi ringan.
Saat sakit flu, kelenjar getah bening yang salah satunya berada di leher dapat menyebabkan pembengkakan. Kondisi ini terjadi karena kelenjar getah bening berperan sebagai bagian dari sistem imun yang bekerja melawan infeksi virus.
Namun, pembengkakan yang terjadi biasanya disertai rasa nyeri, hanya satu benjolan, dan akan mengecil serta hilang dengan sendirinya setelah infeksi membaik atau flu dinyatakan sembuh. Sedangkan, pada kondisi tertentu, benjolan tersebut bisa menjadi tanda limfoma, yaitu penyakit keganasan pada kelenjar getah bening.
Limfoma adalah jenis kanker darah yang terjadi Ketika sel darah putih (limfosit) tumbuh tidak terkendali dan membentuk tumor dalam sistem limfatik, yang mencakup kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, dan timus.
Ciri-ciri limfoma
Benjolan akibat limfoma memiliki sifat progresif, yakni terus membesar dari waktu ke waktu.
Menurut dr. Ryan Ardian Saputra, seorang dokter penyakit dalam yang berpraktik di RS EMC Alam Sutra, benjolan tersebut umumnya tidak menimbulkan nyeri, tidak kunjung hilang, dan bisa muncul di beberapa lokasi sekaligus, seperti leher, ketiak, atau lipat paha. Bahkan, benjolan bisa terasa bergumpal dan berjumlah lebih dari satu.
“Sebetulnya limfoma itu kanker darah dengan manifestasi pada kelenjar getah bening. Jadi walaupun kelihatannya sebagai tumor padat, namun originnya berasal dari darah. Dia menyerang sel darah putih,” kata dokter dengan subspesialis hematologi, onkologi medik tersebut.
Secara epidemiologi, limfoma masuk ke dalam 10 besar kanker yang banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, yang angka kejadiannya cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Cukup banyak kejadiannya, walaupun tidak sebanyak kanker payudara. Selain genetik, faktor penyebab utamanya adalah karena sering kali terpapar zat-zat karsinogenik,” ujar dokter yang juga berpraktik di RS Qadr tersebut.
Faktor risiko limfoma
Zat karsinogenik merupakan senyawa pemicu kanker yang dapat masuk ke tubuh melalui berbagai sumber. Paparan bahan kimia menjadi salah satu faktor risiko yang perlu diwaspadai. Selain itu, konsumsi makanan olahan yang mengandung bahan pengawet juga turut berkontribusi, termasuk produk seperti ikan asin yang menggunakan pengawet dalam proses pengolahannya.
Dokter Ryan juga menyebut konsumsi daging merah dalam jumlah berlebihan turut masuk dalam kategori yang perlu diwaspadai. Meski lebih sering dikaitkan dengan kanker usus, kebiasaan mengonsumsi daging merah dalam jumlah banyak menjadi salah satu faktor risiko yang perlu dihindari.
Apalagi bila individu mempunyai kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol, tubuh akan rentan terpapar senyawa pemicu kanker, sebab kandungan radikal bebas yang terdapat pada rokok dan alkohol dapat memicu kerusakan sel yang berujung pada keganasan.
“yang menjadi perhatian utama sebenarnya adalah kandungan bahan pengawet yang jika dikonsumsi terus menerus bisa meningkatkan risiko,” ujar dr. Ryan.
Usia muda bukan jaminan terbebas dari limfoma
Jika dilihat dari kelompok usia, limfoma tetap dapat terjadi di berbagai rentang usia. Karena itu, usia tidak bisa dijadikan satu-satunya patokan untuk menilai risiko seseorang. Bahkan, usia muda sekalipun bukan jaminan terbebas dari limfoma.
Justru, limfoma jenis Hodgkin lebih banyak ditemukan pada usia muda, termasuk remaja dan dewasa awal. Selama berpraktik, dr. Ryan menyebut dirinya pernah menjumpai penderita kasus limfoma Hodgkin yang berusia 18 hingga 20-an tahun. Sebaliknya, limfoma Non-Hodgkin lebih sering muncul pada kelompok usia lanjut.
Selain benjolan, gejala limfoma baik Hodgkin maupun Non-Hodgkin dapat disertai keluhan lain seperti mudah lelah, demam yang berulang meski tidak sedang mengalami flu atau batuk, keringat malam berlebihan, serta penurunan berat badan yang tidak wajar.
Karena itu, menurut dokter Ryan, masyarakat disarankan untuk mulai curiga dan segera memeriksakan diri apabila menemukan benjolan yang tidak nyeri, tidak hilang dalam waktu lama, dan cenderung membesar. Apalagi bila disertai keluhan seperti berat badan turun dan cepat lelah, hingga berkeringat berlebih saat malam hari.
Waspada dalam rutinitas sehari-hari
1. Saat mandi, rabalah area leher dan ketiak, atau area lipatan lainnya. Bila terasa ada seperti benjolan maka individu disarankan untuk dapat menekannya perlahan. Jika tidak terasa sakit, maka individu dapat memeriksakan ke layanan medis.
2. Saat berpakaian, individu hendaknya memperhatikan ada tidaknya benjolan baru. Limfoma seringkali ditandai dengan benjolan yang tumbuh lebih dari satu dan ukurannya cenderung membesar.
3. Saat menimbang berat badan, perhatikan perubahan yang terjadi. Bila bobot badan merosot turun tanpa penyebab tertentu, maka kemungkinan mengalami limfoma dengan tiga ciri-ciri tersebut.
“Perbedaan gejala antarjenis limfoma memang ada, namun sering kali tidak mencolok, sehingga pemeriksaan medis tetap menjadi kunci untuk memastikan diagnosis,” katanya kepada ANTARA dalam program Bincang Sehat.
Meski begitu, kata dokter Ryan, limfoma bukanlah penyakit menular dan termasuk kanker yang memiliki tingkat keberhasilan terapi yang cukup baik, terutama jika terdeteksi sejak dini. Dengan penanganan yang tepat, banyak pasien limfoma dapat menjalani pengobatan secara efektif. Semakin cepat diketahui, semakin besar peluang untuk pulih dan kembali beraktivitas seperti biasa.
"Saat ini, metode diagnosis dan terapi limfoma juga semakin berkembang, yang dirancang sesuai jenis dan stadium penyakit. Dengan pendekatan yang tepat, kualitas hidup pasien dapat tetap terjaga selama menjalani pengobatan," katanya kepada ANTARA.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jangan salah mengira, benjolan di leher bisa jadi bukan sekadar Flu
