Jakarta (ANTARA) - Ketika data menjadi jendela awal untuk memahami kompleksitas, mungkin ada harapan yang mengemuka dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 yang mencatat angka pengangguran sebesar 7,28 juta orang, atau sekitar 4,76 persen dari total angkatan kerja.
Secara persentase, capaian ini menunjukkan tren perbaikan dibanding tahun sebelumnya. Meskipun demikian, jumlah pengangguran secara nominal masih menunjukkan peningkatan. Hal ini memberi pesan penting: perbaikan indikator makro perlu terus diiringi dengan penguatan kesejahteraan mikro.
Lebih jauh, tantangan ke depan adalah memastikan lapangan kerja yang tercipta bukan hanya sekadar tersedia, tetapi juga stabil, layak, dan produktif, sehingga benar-benar mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kelas menengah
Statistik BPS menunjukkan bahwa mayoritas kelas menengah Indonesia adalah orang muda: Generasi Milenial (24,60 persen), Gen Z (24,12 persen), dan Gen Alpha (12,77 persen). Pertanyaan pentingnya, apakah menjadi bagian dari kelas menengah berarti aman dari guncangan ekonomi? Jawabannya, jelas tidak.
Sebaliknya, kelompok ini justru paling rentan. Mereka tidak miskin secara "administratif", tetapi secara struktural sangat rapuh. Mereka sering disebut sebagai generasi sandwich yang harus menghidupi diri sendiri, membiayai orang tua, dan mulai menyiapkan masa depan anak-anaknya.
Orang muda, kini hidup dalam logika mode bertahan. Jangankan menabung atau investasi, bertahan hidup saja sudah menjadi perjuangan. Gaji dipakai untuk biaya kos, transportasi, makan, tagihan, dan jika sempat, biaya eksistensi sosial agar tak tersisih dari "lingkaran komunitas". Jika ada sisa, itu pun mungkin hanya cukup untuk membeli diskon.
Chatib Basri, dalam opininya menyampaikan bahwa "Instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah memang perlu dipikirkan. Mereka tak tergolong miskin, namun guncangan ekonomi dapat mengantar mereka pada kemiskinan.
Hidup kelas menengah memang tak mudah. Ia butuh keterampilan untuk menganggap 'diskon' sebagai bentuk kekayaan dan 'belanja hemat' sebagai prestasi".
Jeritan orang muda bukan hanya akibat dari dinamika ekonomi global. Ada persoalan mendalam dalam desain struktural kebijakan kita. Pendidikan tinggi belum selaras dengan kebutuhan industri.
Lulusan sarjana membanjiri pasar kerja, tanpa keterampilan yang sesuai dengan permintaan. Sementara itu, sektor informal menjadi penampung terbesar, tapi tanpa perlindungan dan kejelasan masa depan.
