Moratorium pembangunan hotel diharapkan berlanjut di DIY

id Moratorium pembangunan hotel diharapkan berlanjut di DIY

Moratorium pembangunan hotel diharapkan berlanjut di DIY

Ilustrasi pembangunan hotel (Foto antaranews.com)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Keberadaan hotel tidak dapat dipisahkan dari Yogyakarta sebagai kota wisata. Keduanya seperti rangkaian yang saling terkait untuk memenuhi kebutuhan para pelancong sekaligus investor yang berdatangan ke daerah itu.

Namun keterkaitan keduanya seolah dimanfaatkan sebagai legitimasi untuk pembangunan industri perhotelan secara berlebihan sehingga oleh beberapa kalangan pegiat sosial dan akademisi, menjamurnya pembangunan hotel serta apartemen dianggap tidak selaras lagi dengan upaya pelestarian budaya dan lingkungan hidup di kota gudeg itu.

Baru-baru ini warga RW 09 Baciro, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, sepakat untuk tidak memberikan izin pendirian hotel di lingkungan mereka dengan memasang spanduk penolakan terhadap pembangunan hotel sekaligus usaha lainnya yang memicu kepadatan kota.

Selanjutnya, pada 10 Desember 2015 warga Padukuhan Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, juga mendaftarkan gugatan atas pembangunan Apartemen Uttara The Icon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

Warga setempat menilai kebijakan proyek apartemen yang dibangun di Jalan Kaliurang KM 4,5 itu masih memiliki masalah dalam izin lingkungan.

Fenomena itu seolah menjadi penanda belum berakhirnya resistensi warga Yogyakarta terhadap pembangunan hotel yang gencar dilakukan sejak 2014. Pada 6 Agustus 2014 seorang warga Miliran, Dodok Putra Bangsa (37) menggelar aksi teatrikal "mandi dengan pasir" di depan Fave Hotel di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta.

Aksi itu dilakukan lantaran sumur-sumur milik warga mengalami kekeringan. Warga menduga kekeringan itu disebabkan keberadaan hotel yang juga menggunakan sumur untuk memenuhi kebutuhan airnya.

Moratorium
Menanggapi desakan berbagai pihak Pemerintah Kota Yogyakarta sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Moratorium Pemberian Izin Pembangunan Hotel mulai 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2016.

Disusul Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang juga memberlakukan moratorium pendirian hotel, apartemen dan condotel sejak 23 November 2015 hingga 3 Desember 2021. Kebijakan itu berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 63 Tahun 2015.

Meski kebijakan moratorium telah dikeluarkan, hotel dan apartemen yang sudah mengajukan izin pembangunan sebelum moratorium masih tetap dapat diproses.

Di Kota Yogyakarta, terdapat sebanyak 104 permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru yang diajukan sebelum moratorium pembangunan hotel diberlakukan. Dari jumlah itu, 80 hotel sedang dalam proses pembangunan dan 24 hotel masih harus melengkapi persyaratan pembangunan.

Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman memang menjadi sorotan utama atas maraknya pendirian hotel di DIY sebab 85 persen pendirian hotel memang ada di dua wilayah itu.

Sesuai data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY saat ini ada sebanyak 57 hotel bintang di Yogyakarta, sedangkan hotel nonbintang ada 1.010. Dari jumlah hotel itu, sebanyak 8.500 kamar hotel bintang dan 13 ribu kamar dari nonbintang atau melati.

Pemerintah Kota Yogyakarta masih mengkaji terkait keberlanjutan pemberlakuan moratorium hotel yang akan berakhir pada Desember 2016.

"Masih perlu dikaji, yang jelas saat ini masih berlaku moratorium," kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti.

Persaingan hotel
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta berharap moratorium pembangunan hotel dapat terus diperpanjang.

Terus menjamurnya pembangunan hotel di DIY, khususnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dianggap memicu terjadinya perang tarif antarhotel dan menjadi salah satu sumber rendahnya okupansi hotel.

"Dengan terus meningkatnya jumlah kamar hotel. Mereka harus `berbagi kue pengunjung`," kata Ketua PHRI DIY Istijab M Danunagoro.

Menurut Istijab hingga akhir tahun ini terjadi penurunan okupansi atau tingkat hunian kamar hotel mencapai 10 persen jika dibanding 2014. Pada September-Oktober 2015 rata-rata okupansi hotel berbintang mencapai 68 persen, sementara nonbintang 50 persen.

Apalagi, ia mengatakan, kegiatan pertemuan, insentif, konferensi, dan pameran atau "MICE" yang menjadi andalan perhotelan untuk menggaet tingkat kunjungan selama ini juga cenderung dibatasi oleh pemerintah.

Kondisi itu, menurut Istijab, dapat memicu munculnya persaingan hotel dengan cara yang tidak sehat antara lain dengan melakukan perang tarif atau penurunan tarif di bawah batas bawah tarif yang disepakati. "Terus terang untuk mencegah dan melarang perang tarif susah. Kami hanya bisa mengimbau," kata dia.
 
Sekretaris PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono berharap penyebaran hotel dapat merata, bukan hanya terpusat di Sleman dan Kota Yogyakarta saja, sebab potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki oleh beberapa Kabupaten lain di DIY seperti Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul juga sangat luar biasa untuk menarik wisatawan.
 
"Kabupaten-Kabupaten lain seperti yang telah diketahui sama-sama memiliki kekayaan wisata yang luar biasa sehingga sebenarnya juga potensial untuk didirikan perhotelan," kata Deddy.
 
Menurut dia dengan penyebaran hotel yang merata di tiap-tiap kabupaten maka aktivitas perekonomian di DIY tidak hanya terpusat di Kota dan Kabupaten Sleman saja.

Selain itu, kata dia, melalui pemerataan keberadaan hotel tersebut, kepadatan kendaraan di Kota Yogyakarta juga dapat diminimalisasi.


Problem Lingkungan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)DIY Halik Sandera mengatakan sumber air tanah dangkal sebagai sumber air utama masyarakat akan terus menerus berkurang karena kebutuhan air perhotelan rata-rata menggunakan sumber air tanah dalam.

Semakin gencarnya penggalian sumber air tanah dalam, kata dia membuat volume air tanah dangkal ikut berkurang karena air tersebut meresap ke sumber air tanah dalam.

"Di beberapa wilayah di Yogyakarta beberapa sumur masyarakat sudah mengalamai penurunan debit sehingga masyarakat harus menggali sumur lebih dalam lagi untuk mendapatkan air," kata dia.

Selain itu pembangunan hotel juga memiliki potensi mengganggu fungsi aliran air tanah dangkal. Hal itu disebabkan keberadaan setiap bangunan basement hotel akan membelokkan aliran air tanah dangkal yang seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat.

Aktivis Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) John Widijantoro mengatakan bahwa pembangunan hotel jangan sampai merusak karakter asli kota wisata tersebut sehingga merugikan kepentingan wisatawan.

"Zona inti wisata akan makin semrawut ketika jumlah hotel bertumpuk di wilayah tersebut (Kota Yogyakarta)," kata Widijantoro.

Selain merusak citra kota sebagai tujuan wisata, menurut Widijantoro, pemberian izin pembangunan hotel berlebihan juga secara langsung menambah beban jalan, drainase, serta sumber air yang terbatas. "Sebenarnya, kota ini sudah tidak butuh pembangunan hotel," kata dia.

Bisnis wisata maupun wisatawannya, kata dia, akan dirugikan ketika kekhasan Yogyakarta sebagai kota wisata dan budaya rusak.

Oleh sebab itu, menurut Halik Sandera setiap rencana pembangunan hotel memang harus didahului pertimbangan daya tampung dan daya dukung kawasan yang akan dijadikan objek pembangunan.

Sementara itu, pakar Tata Kota dan Tata Ruang UGM Sudaryono Sastrosasmito memandang perlu ditentukan zonasi atau pembagian wilayah dalam mekanisme pembangunan hotel di Yogyakarta, terdiri atas zona inti dan zona penyangga.

Di dalam zona inti yang merupakan wilayah vital Yogyakarta yang dibatasi Sungai Code di sebelah Timur dan Sungai Winongo di sebelah barat, menurut dia, perlu ada pembatasan, baik dari sisi jumlah bangunan maupun jumlah lantai hotel.

Pada dasarnya, kata dia, kapasitas jalan-jalan yang ada di Kota Yogyakarta sebetulnya secara langsung telah memberikan pembatasan kewajaran bangunan.

Bahkan, lanjut dia, hampir secara keseluruhan jalan, khususnya di Yogyakarta didesain untuk bangunan-bangunan horizontal.

"Kapasitas jalan yang ada di Yogyakarta yang rata-rata memiliki lebar 6-8 meter sebetulnya hanya mampu menampung beban dari bangunan-bangunan horizontal," kata Sudaryono.


(T.L007)