Industri baja nasional terjepit mahalnya bahan baku

id industri baja

Industri baja nasional terjepit mahalnya bahan baku

Ilustrasi produk industri baja (Foto antaranews.com)

Jakarta (ANTARA Jogja) - Industri hulu baja nasional terjepit akibat mahalnya harga bahan baku besi tua (scraps) padahal pasar tengah dibanjiri baja impor, kata Sekjen The Indonesian Iron and Steel Industry Association Edward Pinem.

Impor bahan baku selama ini terkendala peraturan yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Bea Cukai, kata Edward saat dihubungi Minggu.

"Bahan baku berupa besi tua banyak tertahan di pelabuhan, sedangkan di dalam negeri belum mencukupi. Karena bahan baku di dalam negeri terbatas akibatnya harga naik ," katanya.

Edward menunjuk berita yang menyebutkan 7.00 unit kontainer berkapasitas 20 ton yang tertahan di pelabuhan akibat kebijakan tersebut, diperkirakan hal ini yang membuat harga naik.

Dia mengatakan, industri baja nasional selama ini sangat bergantung kepada impor bahan baku besi tua (sekitar 70 persen), sedangkan 30 persen dipasok dari dalam negeri. Total kebutuhan bahan baku besi tua mencapai 6,5 juta ton.

Edward mengatakan, akibat mahalnya harga bahan baku membuat utilisasi industri baja rendah, kondisi ini mengakibatkan harga pokok produksi ikut naik.

Padahal harga awal bahan baku 450 - 500 dolar AS  per ton, akibat kenaikan itu harga bahan baku mencapai 750 - 800 dolar AS per ton, jelas dia.

Industri baja mengalami dilema karena untuk teknologi tanur tinggi mesin tidak dapat diberhentikan mendadak kalaupun harus overhaul (perbaikan) setiap dua tahun sekali, kemudian biaya produksi terus naik karena kesejahteraan pekerja harus terus diperhatikan, jelas dia.

Di sisi lain saat ini produk baja impor tengah membanjiri Indonesia. Akibatnya industri mengalami kendala di satu sisi harga bahan baku mahal di sisi lain mereka dituntut bersaing dengan baja impor.

Dirjen Basis Industri Manufaktur Panggah Susanto saat dihubungi mengatakan, pemerintah dapat memberikan perlindungan kepada industri baja nasional sehubungan dengan semakin membanjirnya impor produk besi dan baja  ekses meningkatnya kapasitas produksi produk tersebut di sejumlah negara.

"Kita bisa kenakan bea masuk anti-dumping kalau mereka terbukti melakukan dumping atau bea masuk safeguard kalau dapat mematikan industri besi dan baja di dalam negeri," kata Panggah.

Menurut dia, kebijakan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada industrinya diperkenakan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) sepanjang produk yang membanjir di pasar negara tersebut terbukti menggunakan harga dumping.

Panggah mengatakan, membanjirnya produk besi dan baja di Indonesia disebabkan melambatnya ekonomi di sejumlah negara sehingga membuat mereka kelebihan produksi.

Saat ini, jelasnya, Indonesia kebanjiran produk besi dan baja dari Korea, Jepang, dan Taiwan namun untuk mengetahui apakah sudah mengancam produk di dalam negeri harus dilakukan investigasi.

Kewenangan untuk melakukan investigasi dapat dilakukan melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) apabila harga produk yang masuk ke Indonesia dicurigai dumping dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) apabila membanjirnya produk impor itu telah mengancam kelangsungan industri besi dan baja di dalam negeri, jelas Panggah.

Panggah mengatakan, dalam upaya melindungi industri di dalam negeri bisa saja dikenakan bea masuk anti dumping 60-70 persen, namun untuk memberlakukan kebijakan tersebut harus melalui mekanisme tertentu diantaranya melalui proses investigasi terlebih dahulu.

Edward mengatakan, kebijakan bea masuk anti-dumping dan safeguard harus disertai pengawasan ketat, karena produk itu tidak semata-mata masuk dari pelabuhan resmi beberapa dari berbagai pelabuhan yang tidak terpantau aparat pemerintah.
(G001)