Puskesmas kesulitan menggunakan aplikasi inventarisasi jenis obat

id Obat kadaluarsa

Kulon Progo (Antara Jogja) - Pusat kesehatan masyarakat di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Isimewa Yogyakarta, kesulitan menggunakan aplikasi inventarisasi jenis obat karena harganya berubah dan berat obat yang diproduksi tidak sama seperti yang menjadi kriteria penilaian Badan Pemeriksa Keuangan.

Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo di Kulon Progo, Senin, mengakui ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan menjadi catatan dalam opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo 2016, yakni puskesmas diketahui tidak tertib administrasi dalam pengelolaan obat-obatan.

"Pengelolaan obat, pelaksanaan First In First Out (FIFO) harus realtime, namun FIFO di 42 puskesmas di Kulon Progo masih harus diperbaiki," kata Hasto.

Ia mengatakan hal tersebut terjadi karena obat yang tersedia di puskesmas begitu beragam. Berbeda dengan catatan organisasi perangkat daerah lain, misalnya Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga yang cukup mencatat meja, kursi, dan sebagainya.

"Total obat di puskesmas itu jumlahanya ribuan dan berbagai jenis. Namun catatan BPK ini akan kami tindak lanjuti dalam 60 hari," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kulon Progo Bambang Haryatno mengatakan tidak tertibnya administrasi pengelolaan obat yang terjadi di puskesmas disebabkan adanya perubahan dalam teknis pencatatan obat. Sebelumnya, pencatatan aset dilakukan dengan mengalikan jumlah stok akhir dengan harga obat terakhir yang ada, sehingga didapatkan harga perolehan akhir.

Namun saat ini, nilai aset disesuaikan dengan harga obat yang ada. Misalnya dalam setahun Dinkes membeli obat dua kali, yang pertama sebanyak 50, dan yang kedua kali 100.

"Ada tiga kriteria penilian BPK, yakni FIFO, First Expired First Out (FEFO) dan harga obat terbaru. Semua dilaporkan dalam bentuk aplikasi, sehingga kami mengalami kesullitan," kata dia.

Selain itu, dalam pencatatan First Expired First Out (FEFO), Dinkes juga sudah harus mengubah pencatatan dengan lebih detail. Pencatatan obat harus diikuti dengan harga masing-masing obat, baik dalam bentuk padat, sirup atau dosis yang beragam. Dinkes mengaku cukup kesulitan mencatat mengunakan aplikasi pencatatan yang selama ini digunakan.

"Petugas Dinkes, rumah sakit maupun puskesmas terpaksa mencatat secara manual dan satu per satu," katanya.







(KR-STR)