Yogyakarta (ANTARA) - Pusat Studi Islam Asia Tenggara (ISAIs) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berkolaborasi dengan Bersama Bina Damai (Bernada), mengadakan pelatihan bertajuk 'Penguatan Islam Washatiyah dan Filantropi Islam' sebagai respons atas aksi terorisme di Tanah Air.
"Kami tergerak untuk membuat pelatihan filantropi Islam yang diintegrasikan dengan gerakan Islam Washatiyah bagi kalangan lembaga amal, takmir masjid dan ormas Islam," kata Direktur ISAIs UIN Yogyakarta, Ahmad Anfasul Marom dalam konferensi pers disela pelatihan tersebut di Yogyakarta, Minggu.
Dia mengatakan, beberapa hari lalu, publik dikejutkan ada seorang dokter, Sunardi, terduga anggota Jaringan teroris kelompok Jamaah Islamiyah (JI) ditembak mati oleh Tim Detasemen (Densus) 88 Antiteror Polri di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Menurut dia, yang bersangkutan pernah menjabat sebagai penasehat amir JI dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI).
"Kegiatan HASI menunjukkan adanya sinyal penyalahgunaan pemberian amal yang digunakan untuk mendukung tindakan kekerasan dan menyediakan kebutuhan logistik bagi kelompok teroris, apalagi Indonesia kembali dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index 2021," katanya.
Dia mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia memiliki antusiasme yang sangat tinggi dalam beramal.
Pihaknya mengamati hal ini bukan sekedar kasus, tapi tren yang berpola, karena terjadi di beberapa tempat juga. Apalagi pada Juli 2021, kurang lebih 1.550 kotak amal terkait dengan pendanaan terorisme ditemukan oleh Densus 88.
"Pada tahun sebelumnya Polri juga mengungkap sebanyak 20.068 kotak amal yang diduga digunakan pendanaan jaringan JI di sebanyak 12 daerah. Sama seperti halnya HASI, modus pendanaannya dilakukan dengan mendirikan lembaga amal," katanya.
Dia mengatakan, tentu tidak mudah membongkar kedok-kedok filantropi semacam ini, apalagi anjuran berdonasi di kalangan umat Islam telah melekat kuat dalam praktik ibadah bahkan tertanam dalam struktur lapisan agama dan budaya.
"Butuh pendekatan yang lebih strategis dan mendalam untuk membangun kesadaran beramal di kalangan masyarakat Muslim. Mereka perlu diajak bersama untuk membangun sensitivitas terhadap aktivitas filantropi yang potensial untuk membangun masyarakat, namun di sisi lain juga berpotensi untuk disalahgunakan," katanya.
Pelatihan tersebut juga menghadirkan mantan napiter (napi teroris), Jack Harun, untuk berbagi pengalamannya bagaimana dia terlibat dan sistem penggalangan dana selama menjadi anggota JI.
"Kami berharap dengan materi-materi kunci seperti udar asumsi, iceberg analisis, sketsa keberislaman di Indonesia, menyelami filantropi dan sharing langsung dengan ex jihadis akan membangun awareness peserta dalam mempelopori gerakan Islam washatiyah dan 'mengawal' praktik kotak amal dan infak di lingkungan sekitarnya," katanya.