Ternyata di Yogyakarta ada tiga srikandi pendamping keluarga penyelamat stunting
Jakarta (ANTARA) - Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ada tiga srikandi yang termasuk dalam tim pendamping keluarga (TPK) berjuang sekuat tenaga untuk mendampingi para keluarga berisiko stunting. Ketiga srikandi itu dikenal tangguh menghadapi berbagai macam tantangan di lapangan.
Mereka adalah Dewi Krismayanti (bidan), Patricia Sri Maryanti (kader keluarga berencana), dan Swasti Prana Wijayawati (anggota PKK), yang berasal dari Kelurahan Pringgokusuman, Gedong Tengen, Yogyakarta.
Saat terjun ke lapangan, Swasti terkejut karena menemukan tetangganya sendiri yang sudah hamil, padahal baru saja lulus dari sekolah dasar (SD).
Sambil sedikit berkaca-kaca, ia menyesal mengapa baru menemukan kasus tersebut, setelah sekian lama menjadi anggota PKK. Apa yang selama ini hanya ia lihat melalui media massa atau media sosial, ternyata terjadi di lingkungan terdekatnya, sehingga membuat ia sempat terpukul.
Sementara Dewi juga menemukan hal yang tidak kalah mengejutkan, ketika berkunjung ke rumah tetangganya.
Ketika itu, ada seorang ibu yang masih usia SMP langsung memberikan bayinya kepada bidan, sedangkan si ibu lebih memilih bermain "mobile legend".
Atas berbagai kenyataan yang dihadapi, Patricia, Dewi, dan Swasti, sama-sama menyadari bahwa salah satu pekerjaan paling berat bagi mereka adalah memberi edukasi tentang pendewasaan usia perkawinan.
Untuk itu, mereka mengatasi hal tersebut dengan memasifkan sosialisasi melalui program-program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yakni Bina Keluarga Temaja dan Bina Keluarga Lansia, yang merupakan bagian dari program Tri Bina Keluarga.
Selain itu, mereka juga kerapkali masuk ke dalam komunitas-komunitas warga, seperti PKK, lingkungan RT hingga RW, untuk mengedukasi pentingnya pencegahan stunting melalui pendewasaan usia pernikahan. Idealnya usia pernikahan adalah, laki-laki berusia 25 tahun dan perempuan berusia 21 tahun.
Merasa paling tahu
Patricia mengungkapkan bahwa tantangan lain yang dihadapi ketika berhadapan dengan keluarga berisiko stunting adalah mengedukasi orang tua atau anggota keluarga yang mengasuh sang bayi tentang pentingnya nilai gizi yang terkandung dalam makanan.
Para orang tua itu, seringkali merasa paling tahu gizi yang dibutuhkan anak-anaknya, padahal itu belum cukup.
Dewi pun mengamini hal tersebut. Di kalangan anak-anak remaja Yogyakarta, mereka juga telanjur terpapar makanan cepat saji yang tidak memenuhi standar dan dampaknya si anak cenderung tidak suka sayuran hijau.
Untuk mengatasi hal tersebut, ketiga srikandi itu terus melakukan pendampingan secara masif melalui pertemuan-pertemuan warga di lintas komunitas.
Mereka biasanya masuk ke pertemuan-pertemuan lintas komunitas, bahkan komunitas lansia. Pada pertemuan itu mereka menyampaikan pentingnya air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan. Bahkan, pengetahuan itu terus mereka sampaikan, meskipun yang dihadapi bukan sasaran. Mereka berkeyakinan, paling tidak lansia itu memiliki pengetahuan bahwa zaman dulu dan sekarang berbeda.
Ketika terjun ke lapangan, tim pendamping keluarga ini juga masih sering menemukan nenek yang memberikan makanan tambahan selain ASI pada bayi yang belum berusia enam bulan.
Jika menemukan para pengasuh seperti itu, mereka tidak bosan terus memberikan pengertian bahwa pencernaan bayi belum cukup kuat untuk menerima makanan-makanan bertekstur, sehingga sampai usia enam bulan, bayi cukup diberikan ASI saja.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tiga srikandi pendamping keluarga penyelamat stunting di Yogyakarta
Mereka adalah Dewi Krismayanti (bidan), Patricia Sri Maryanti (kader keluarga berencana), dan Swasti Prana Wijayawati (anggota PKK), yang berasal dari Kelurahan Pringgokusuman, Gedong Tengen, Yogyakarta.
Saat terjun ke lapangan, Swasti terkejut karena menemukan tetangganya sendiri yang sudah hamil, padahal baru saja lulus dari sekolah dasar (SD).
Sambil sedikit berkaca-kaca, ia menyesal mengapa baru menemukan kasus tersebut, setelah sekian lama menjadi anggota PKK. Apa yang selama ini hanya ia lihat melalui media massa atau media sosial, ternyata terjadi di lingkungan terdekatnya, sehingga membuat ia sempat terpukul.
Sementara Dewi juga menemukan hal yang tidak kalah mengejutkan, ketika berkunjung ke rumah tetangganya.
Ketika itu, ada seorang ibu yang masih usia SMP langsung memberikan bayinya kepada bidan, sedangkan si ibu lebih memilih bermain "mobile legend".
Atas berbagai kenyataan yang dihadapi, Patricia, Dewi, dan Swasti, sama-sama menyadari bahwa salah satu pekerjaan paling berat bagi mereka adalah memberi edukasi tentang pendewasaan usia perkawinan.
Untuk itu, mereka mengatasi hal tersebut dengan memasifkan sosialisasi melalui program-program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yakni Bina Keluarga Temaja dan Bina Keluarga Lansia, yang merupakan bagian dari program Tri Bina Keluarga.
Selain itu, mereka juga kerapkali masuk ke dalam komunitas-komunitas warga, seperti PKK, lingkungan RT hingga RW, untuk mengedukasi pentingnya pencegahan stunting melalui pendewasaan usia pernikahan. Idealnya usia pernikahan adalah, laki-laki berusia 25 tahun dan perempuan berusia 21 tahun.
Merasa paling tahu
Patricia mengungkapkan bahwa tantangan lain yang dihadapi ketika berhadapan dengan keluarga berisiko stunting adalah mengedukasi orang tua atau anggota keluarga yang mengasuh sang bayi tentang pentingnya nilai gizi yang terkandung dalam makanan.
Para orang tua itu, seringkali merasa paling tahu gizi yang dibutuhkan anak-anaknya, padahal itu belum cukup.
Dewi pun mengamini hal tersebut. Di kalangan anak-anak remaja Yogyakarta, mereka juga telanjur terpapar makanan cepat saji yang tidak memenuhi standar dan dampaknya si anak cenderung tidak suka sayuran hijau.
Untuk mengatasi hal tersebut, ketiga srikandi itu terus melakukan pendampingan secara masif melalui pertemuan-pertemuan warga di lintas komunitas.
Mereka biasanya masuk ke pertemuan-pertemuan lintas komunitas, bahkan komunitas lansia. Pada pertemuan itu mereka menyampaikan pentingnya air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan. Bahkan, pengetahuan itu terus mereka sampaikan, meskipun yang dihadapi bukan sasaran. Mereka berkeyakinan, paling tidak lansia itu memiliki pengetahuan bahwa zaman dulu dan sekarang berbeda.
Ketika terjun ke lapangan, tim pendamping keluarga ini juga masih sering menemukan nenek yang memberikan makanan tambahan selain ASI pada bayi yang belum berusia enam bulan.
Jika menemukan para pengasuh seperti itu, mereka tidak bosan terus memberikan pengertian bahwa pencernaan bayi belum cukup kuat untuk menerima makanan-makanan bertekstur, sehingga sampai usia enam bulan, bayi cukup diberikan ASI saja.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tiga srikandi pendamping keluarga penyelamat stunting di Yogyakarta