Ambang batas parlemen dan masa depan demokrasi Indonesia

id ambang batas parlemen,demokrasi,parliamentary threshold

Ambang batas parlemen dan masa depan demokrasi Indonesia

Ilustrasi suasana sidang di Mahkamah Konstitusi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt/aa.

Yogyakarta (ANTARA) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada awal Januari 2025 disambut gembira oleh berbagai pihak.

Putusan itu dianggap langkah besar dan bersejarah dalam membuka ruang demokrasi, terutama setelah diperjuangkan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Namun, ketika wacana penghapusan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) muncul sebagai kelanjutan dari keputusan tersebut, suasana berubah.

Berbeda dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, wacana ini memantik silang pendapat di kalangan politisi, akademisi, maupun masyarakat sipil.

Sebagian pihak berpendapat ambang batas parlemen tetap diperlukan demi menjaga efektivitas pemerintahan serta menghindari fragmentasi politik di parlemen.

Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun menyatakan, ambang batas parlemen merupakan wujud kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.

Kendati suara partai kecil yang tidak memenuhi ambang batas menjadi tidak terwakili, aturan ini bertujuan untuk memastikan parlemen tidak terpecah ke dalam banyak fraksi yang sulit dikendalikan.

Tanpa ambang batas, dikhawatirkan parlemen bakal dipenuhi terlalu banyak partai dengan kepentingan beragam yang sulit dikonsolidasikan.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menilai penghapusan ambang batas parlemen dapat mengganggu efektivitas kerja DPR.

Jika terlalu banyak partai di parlemen, fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran bisa terganggu serta berdampak pada efektivitas pemerintahan.

Polemik ini makin mengemuka mengingat parliamentary threshold bukanlah konsep baru dalam sistem demokrasi Indonesia.

Sejak kali pertama diterapkan pada Pemilu 2009, aturan ini beberapa kali diubah. Pada 2009, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Kala itu, dari 38 parpol peserta pemilu, hanya 9 parpol yang lolos ke parlemen.

Kemudian pada 2012 dinaikkan menjadi 3,5 persen, hingga akhirnya pada 2017 ditetapkan sebesar 4 persen.

Angka 4 persen dipandang sebagai titik tengah antara kebutuhan akan inklusivitas politik dan stabilitas pemerintahan. Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai-partai yang ingin meramaikan kontestasi mesti memiliki ideologi dan program yang jelas, sehingga memudahkan pemilih menentukan pilihan.

Hal ini juga bertujuan untuk menyederhanakan sistem multipartai agar lebih efektif menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan.

Suara sah terbuang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Rapat Pleno Terbuka Hasil Pemilihan Anggota Legislatif 2024 menyatakan 10 dari 18 partai politik peserta Pemilu 2024 gagal lolos ke parlemen lantaran tidak memenuhi ambang batas 4 persen.

Dari total 151.793.293 suara sah nasional, lebih dari 16 juta suara berasal dari partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas dan tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.

Sepuluh partai yang gagal lolos ke parlemen yakni :

- Partai Buruh (972.898 suara)

- Partai Gelora (1.282.000)

- Partai Kebangkitan Nusantara (326.803)

- Partai Hanura (1.094.599)

- Partai Garda Republik Indonesia (406.884)

- Partai Bulan Bintang (484.487)

- Partai Solidaritas Indonesia (4.260.108)

- Partai Persatuan Indonesia (1.955.131)

- Partai Persatuan Pembangunan (5.878.708)

- Partai Ummat (642.550)

Jumlah parpol yang terhalang ambang batas ini menunjukkan suara yang tidak terkonversi menjadi kursi DPR cukup signifikan.

Situasi ini memunculkan perdebatan baru. Sebagian pihak menilai ambang batas parlemen telah membuat jutaan suara rakyat tidak terwakili, sehingga layak dihapus demi keterwakilan politik yang lebih adil.

Menurut Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno, penerapan aturan ini menghambat hak pilih masyarakat karena membuat partai-partai dengan perolehan suara cukup besar gagal masuk parlemen.

Ia menyoroti bagaimana PPP dan PSI, yang masing-masing meraih 3,9 persen dan 3 persen suara nasional, tetap tidak mendapatkan kursi di DPR akibat aturan ini.

Karena itu, ia meyakini wacana penghapusan ambang batas parlemen maupun penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, sama-sama bentuk keadilan demokrasi.

Namun, penghapusan parliamentary threshold bukan satu-satunya opsi yang tengah dipertimbangkan.

Di tengah polemik ini, MK sebelumnya telah memberikan alternatif lain melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023. MK meminta pembentuk undang-undang untuk mengkaji ulang besaran angka dan persentase ambang batas parlemen agar lebih rasional — bukan dihapus sepenuhnya, tetapi juga tidak harus dipertahankan di angka 4 persen.

Putusan yang mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu mencerminkan upaya mencari keseimbangan antara aspirasi partai-partai kecil yang ingin tetap memiliki akses ke parlemen dan kebutuhan menjaga efektivitas pemerintahan.

Peluang pembatalan ambang batas parlemen

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra menilai putusan MK terkait presidential threshold memang bisa berdampak pada parliamentary threshold.

"Kemungkinan besar MK juga membatalkan parliamentary threshold yang selama ini selalu dipersoalkan oleh partai-partai politik," ucap pendiri Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Dia mengusulkan agar partai-partai kecil yang tidak memenuhi ambang batas minimal bisa membentuk fraksi gabungan agar tetap memiliki representasi di DPR.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun menegaskan bahwa pihaknya sedang mengkaji dampak dari peluang penghapusan atau revisi ambang batas parlemen.

Ia telah memerintahkan stafnya untuk melakukan diskusi kelompok terarah dengan melibatkan para ahli tata negara dan pihak internal guna mengevaluasi dampak kebijakan ini.

Hasil kajian ini akan dibahas lebih lanjut dalam rapat koordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga terkait sebelum dibawa ke DPR untuk dipertimbangkan.

Kini, pertanyaan besar muncul: Apakah parlemen tanpa ambang batas akan memperkuat demokrasi atau justru membuat sistem politik semakin tak stabil?

Manakala ambang batas tetap dipertahankan, berapa angka yang paling ideal agar keterwakilan tetap luas tanpa mengorbankan efektivitas pemerintahan?

Apapun keputusannya, perubahan parliamentary threshold bakal menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Maka, harus dikaji secara saksama, dengan mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan politik sesaat.

Pewarta :
Editor: Bambang Sutopo Hadi
COPYRIGHT © ANTARA 2025