Kraton Yogyakarta, Jantung budaya Jawa yang tak pernah padam

id keraton,yogyakarta,kraton,tugu pal putih, sumbu filosofi,jawa, kota gudeg

Kraton Yogyakarta, Jantung budaya Jawa yang tak pernah padam

Pemandangan dari depan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. ANTARA/Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta

Yogyakarta (ANTARA) - Di balik gemerlap modernitas Kota Gudeg, berdiri megah sebuah istana yang bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga pusat denyut nadi kebudayaan Jawa, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Lebih dari sekadar bangunan bersejarah, Kraton ini adalah saksi hidup peradaban yang terus bernapas, sejak didirikan pada 1755 sebagai hasil Perjanjian Giyanti.

Menempati jantung Daerah Istimewa Yogyakarta, kawasan Kraton membentang seluas 14.000 meter persegi. Dikelilingi dua alun-alun ikonik, Alun-Alun Lor di utara dan Alun-Alun Kidul di selatan, kompleks ini hanya berjarak sekitar 10 menit dari kawasan wisata Malioboro.

Berbeda dengan keramaian pusat belanja, Kraton menawarkan keheningan yang sarat makna, tempat waktu seolah melambat untuk menghormati sejarah.

Hingga hari ini, Kraton tetap berfungsi sebagai kediaman resmi Sri Sultan Hamengkubuwono dan keluarga. Di dalam dindingnya, adat, budaya, dan spiritualitas Jawa dijaga dan dijalankan.

Baca juga: Enam gunungan diarak dari Keraton Yogyakarta peringati Idul Adha

Baca juga: Keraton Ngayogyakarta gelar Labuhan di Pantai Parangkusumo Bantul

Tidak heran jika kawasan ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya lewat SK Gubernur No. 186/2011 dan diperkuat oleh Peraturan Gubernur DIY No. 75 Tahun 2017. Satu kawasan besar dari Tugu Pal Putih hingga Panggung Krapyak kini diakui sebagai sumbu utama budaya Yogyakarta.

Arsitekturnya adalah mahakarya lintas budaya. Sang pendiri, Sri Sultan Hamengkubuwono I, merancang tata ruang Kraton dengan menggabungkan elemen arsitektur Jawa klasik, sentuhan Eropa, dan pengaruh Tionghoa.

Memasuki Kraton dari Gladhak Pangurakan, pengunjung akan melintasi lapis demi lapis ruang: dari Pagelaran dan Sitihinggil Lor, menuju Kedhaton sebagai pusat pemerintahan, hingga Sitihinggil Kidul yang mengarah ke ranah spiritual. Sebuah narasi visual tentang struktur kekuasaan dan filosofi hidup orang Jawa.

Tidak jauh dari kompleks utama, berdiri bangunan-bangunan bersejarah yang memperkaya narasi budaya: Tamansari, bekas taman air kerajaan yang memikat; Museum Sonobudoyo, penyimpan koleksi artefak budaya Jawa; hingga Benteng Vredeburg, saksi bisu era kolonial. Semuanya membentuk mosaik sejarah yang utuh dan menyatu dengan denyut kota.

Baca juga: Bupati Sleman terima gelar KMT H Pangarsohadiprojo dari Keraton Yogyakarta

Menariknya, jalur Malioboro yang kini menjadi magnet wisata belanja dan kuliner sejatinya adalah bagian integral dari perencanaan kerajaan. Di sepanjang jalan ini berdiri Pasar Gedhe sebagai pusat ekonomi, Kepatihan sebagai pusat birokrasi, dan Masjid Gedhe Kauman sebagai poros spiritual.

Bersama Kraton dan alun-alun, keempat elemen ini membentuk konsep Catur Gatra Tunggal, harmoni antara politik (Kraton dan Kepatihan), ekonomi (Pasar Gedhe), agama (Masjid Gedhe), dan sosial (Alun-Alun).

Di balik susunan fisik itu, terbentang makna yang lebih dalam. Garis imajiner yang menghubungkan Panggung Krapyak – Kraton – Tugu Pal Putih menyusun sumbu filosofi Jawa tentang sangkan paraning dumadi, perjalanan manusia dari asal mula hingga kembali ke Sang Pencipta. Sebuah pesan spiritual yang ditanam dalam struktur kota, dan terus diwariskan lintas generasi.

Kraton Yogyakarta bukan hanya masa lalu yang diam, tetapi juga sebagai pusat peradaban yang terus hidup, mendidik, dan menginspirasi. Di sinilah, budaya Jawa tidak dibekukan dalam museum, tetapi terus ditulis, dibaca, dan dijalani.

Baca juga: Simposium Budaya Jawa 2025 mengkaji aparatur Kesultanan Yogyakarta

Baca juga: PBTY 2025 mengedepankan pembentukan karakter bangsa lewat seni-budaya

Pewarta :
Editor: Nur Istibsaroh
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.