Sleman (ANTARA) - Akademisi Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta Galang Rambu Anarki menilai kasus perundungan (bullying) di Indonesia masih terus terjadi meski pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi perlindungan anak salah satunya disebabkan lemahnya implementasi.
"Lemahnya implementasi hukum dan minimnya pendekatan psikologis menjadi penyebab kasus serupa terus berulang bahkan berujung kematian," kata Galang yang merupakan dosen pada Program Studi Psikologi, Fakultas Ekonomi Ilmu Sosial Humaniora Unisa Yogyakarta di Sleman, Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, saat ini undang-undang seperti UU Perlindungan Anak, KUHP dan UU ITE sudah ada, tetapi implementasinya sangat lemah.
"Banyak faktor psikososial menyebabkan hukum tidak mampu memberikan efek jera bagi pelaku," katanya.
Ia mengatakan, masih ada tiga persoalan utama dalam upaya mencegah perundungan di Indonesia, yaitu normalisasi kekerasan, minimnya deteksi dini pelaku potensial dan akses kesehatan mental yang belum merata.
"Banyak institusi masih menormalisasikan kekerasan sebagai kedisiplinan atau pembentukan mental," katanya.
Galang mengatakan kurangnya intervensi psikologis juga menyebabkan pelaku tidak mengalami perubahan perilaku. Sementara korban tidak memperoleh pendampingan yang memadai untuk mengatasi trauma.
"Akibatnya, pelaku berpotensi mengulangi tindakannya dan korban bisa berubah menjadi pelaku baru di kemudian hari," katanya.
Ia menyoroti budaya masyarakat yang cenderung menyalahkan korban dan menganggap pelaporan sebagai kelemahan. Kondisi itu diperburuk dengan penyebaran konten kekerasan di media sosial serta konsumsi permainan digital yang sarat kekerasan oleh anak-anak di bawah umur.
"Modeling dari lingkungan membuat anak-anak belajar bahwa kekerasan itu wajar. Ini memelihara siklus 'bullying' di sekolah dan masyarakat," katanya.
Ia mengatakan, penanganan perundungan di sekolah masih sering berakhir melalui mediasi kekeluargaan tanpa rujukan pada layanan pemulihan psikologis.
"Mediasi tidak berbasis trauma care. Korban tidak pulih, pelaku tidak mendapatkan pembinaan perilaku," katanya.
Untuk memutus rantai perundungan, Galang menegaskan perlunya SOP terpadu yang menghubungkan sekolah, kepolisian, dinas pendidikan dan layanan kesehatan mental.
Instansi juga didorong memiliki program antiperundungan yang berkelanjutan, instansi juga harus menjalankan program preventif berkelanjutan seperti pelatihan empati, manajemen emosi, dan konseling sebaya untuk membangun norma antikekerasan secara menyeluruh.
"Hukuman saja tidak cukup. Harus ada rehabilitasi psikologis untuk pelaku dan korban serta kampanye perubahan norma sosial agar kekerasan tidak dianggap wajar," katanya.
